Selasa, 31 Oktober 2017



Ustaz Muhammad Idrus Ramli adalah tokoh anti syiah. Menurut keterangan dari Tgk. H. Mirza Gunawan, ST, MAP Sekjen Tastafi Lhokseumawe, K. H. Idrus Ramli akan mengisi pengajian Tastafi di Mesjid Jamik, pada Rabu 1 November 2017 pukul 10 pagi. Kyai akan didampingi oleh Aby Mudi yang sudah terkenal di Aceh sebagai putra sulung dari Abu Mudi. Nama kyai Idrus telah terkenal dalam kancah pembelaan faham Aswaja, khususnya yang dianut oleh Muslim Nusantara dan NU. Video diskusinya berhadapan dengan tokoh berbagai aliran telah beredar luas, jelas sekretaris Tastafi yang juga jebolan Dayah MUDI Mesra Samalanga ini.

Kiai kelahiran Rambipuji, Jember, 1 Juli 1975 ini selalu menyampaikan dasar dan dalil kuat berdasarkan perkataan ulama salaf. Cara bicaranya yang tegas dan mantap saat debat membuat lawan diskusi gelagapan. Ia belajar agama sejak kecil. Selama menamatkan sekolah di SDN Gugut, ia belajar dasar-dasar agama, Alquran, Tajwid dan gramatika Arab kepada Kiai Nasyith di Pondok Pesantren Nashirul Ulum. Ia mulai masuk pesantren Sidogiri tahun 1986 setamat SD. Ia mondok di Sidogiri hingga 2004. Tahun 1994, dia menjadi guru tugas di Madrasah Aliyah Pondok Pesantren Darut Tauhid, Injelan, Panggung, Sampang, Madura. Pernah juga mencicipi jalan-jalan ke Inggris dalam rangka studi komparatif atau studi banding. Dalam acara di Mesjid Jamik lhokseumawe nanti nya akan di adakan acara pembagian hadiah Doorprize Menarik berupa Tiket umrah gratis, DP umrah, Dispenser, kipas angin, Dvd player, setrika, baju koko, sejadah dan kain sarung.

Kiprah kyai Idrus dalam forum ilmiah bahtsul masail telah dimulai sejak 1996 ketika di pesantren Sidogiri. Selain aktif berdiskusi, Idrus Ramli juga berkiprah di dunia kepenulisan. Mulai menjadi staf redaksi Majalah Ijtihad (1995-1996), Pimpinan Redaksi Majalah Ijtihad (1997), Pemimpin Umum Buletin Istinbath (1998-2001), dan Pimpinan Redaksi Jurnal TAMASYA (2003), di Pondok Pesantren Sidogiri, dll.
Di luar pesantren, Idrus Ramli aktif menulis buku-buku seputar Aswaja dan amaliah NU. Buku karyanya yang laris antara lain Pintar Berdebat dengan Wahabi, Mazhab Asy’ari Benarkah Ahlussunah Waljamaah, Jurus Ampuh Membungkam HTI, dll. Pengalamannya dalam berdiskusi sudah tidak diragukan. Baik dalam membantah Wahabi maupun Syiah. Dari sekian banyak kiprah dan dakwah yang dijalani, selain keluasan ilmu dan ketekunan membela Aswaja, Persinggungan Idrus Ramli dengan Said Aqil Siradj juga cukup di bahas berawal di tahun 2010. Masa itu, K.H. Said Aqil Siradj yang menjabat sebagai Ketua Umum PBNU diisukan sebagai orang Syiah. banyak kalangan NU yang menyoroti tulisan-tulisan Kiai Said yang berbau Syiah. Maka dibukalah forum tabayun terhadapnya. Ini benar-benar praktik tabayun di kalangan ulama. Para kiai yang tergabung dalam Forum Kiai Muda (FKM) Jawa Timur bertemu di Ponpes Bumi Shalawat, Tulangan, Sidoarjo, asuhan K.H. Ali Masyhuri. Di tempat ini pula, pada 2009 para Kiai NU “menyidang” dedengkot JIL, Ulil Absar Abdalla.
Ustaz Idrus Ramli termasuk dalam FKM. Ia banyak menyoroti buku Kiai Said yang berbau Syiah. Debat terbuka itu berakhir dengan kesimpulan para kiai bahwa Kiai Said Aqil Siradj masih NU. Hanya beda keluasan ilmu dan kecerdasan yang terkadang tidak dipahami orang banyak. Selain itu, K.H. Said Aqil berjanji akan merevisi bukunya, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial; Mengedepankan Islam Sebagai Inspirasi, Bukan Aspirasi yang kontroversial.

Rangkuman Pengajian TASTAFI Rabithah Thaliban Banda Aceh

Rangkuman fathul Mu'in hal 42 - 44 tgl 31 oktober 2017

Jika seseorang ragu terhadap suatu anggota yg belum dibasuh pada waktu wudhu/ mandi sebelum selesai wudhu/mandi. Maka dibasuh anggota yg ragu tersebut dan disempurnakan kepada anggota yang lain.

Jika ragu setelahnya, maka keraguan tersebut tidak mempengaruhi keabsahan wudhu / mandi wajib. Sekalipun pada niat, maka tidak mengapa.
Jika keraguannya sama sekali tidak dibasuh, maka wajib diulang, namun jika keraguannya ada dibasuh tapi tidak sempurna, maka tidak wajib diulang.

Sunat wudhu ' :
- membaca basmalah ( itba' Rasulullah) sekalipun berwudhuk dengan air rampasan.
Menurut imam Ahmad, wajib membaca basmalah. Dan sunat membaca ta'awwuz, kemudian membaca kalinat syahadat, dan membaca : اَلۡحَمۡدُ لِلَّهِ الَّذِی جَعَلَ المَاءَ طَهُوۡرًا ..
dan disunatkan apabila meninggalkan bacaan basmalah pada awalnya, maka boleh membaca di pertengahannya dgn lafaz: بِاسۡمِ اللَهِ اَوَّلِهِ وَ آخِرِهِ
adapun ulama mutaqaddimin menyebutkn bahwa awal sunat wudhu itu adalah bersiwak..
dan disunatkan pula membaca basmalah pada mandi, tayamum, menyembelih, tilawah Al Qur' an sekalipun membaca pada pertengahan surat di dalam shalat atau di luar shalat.

Senin, 30 Oktober 2017

Katakan : Aku Bangga Jadi Santri


 “Santri” sebuah gelar sederhana yang disandangkan kepada seseorang yang memondok di Pesantren atau Dayah yang kesehariannya mengkaji, menelaah serta meneliti kitab salaf atau lebih dikenal dengan kitab kuning, kondisi tubuh dibalut sarung, peci, serta atribut ala santri menjadi pelengkap dan menambah karakteristik tersendiri bagi mereka.
Asal-muasal kata “santri” sendiri menurut DR. Nurchalis Majid (Cendekiawan Islam) minimal ada dua pendapat yang dapat di jadikan bahan acuan. Pertama, berasal dari bahasa Sankskerta, yaitu “sastri”, yang berarti orang yang melek huruf. Kedua, berasal dari bahasa Jawa, yaitu “cantrik”, yang berarti seseorang yang mengikuti kiyai di mana pun ia pergi dan menetap untuk menguasai suatu keahlian tersendiri.

Sementara DR. KH. M.A. Sahal Mahfudz (Rais ‘Aam PBNU dan Ketua Umum Pusat MUI) mengatakan bahwa kata “santri” berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata “santara”, yang mempunyai jama’ (plural) sanaatiir (beberapa santri). Di balik kata “santri” tersebut mempunyai empat huruf Arab (sin, nun, ta', ra').
Klarifikasi:
Sin, yang bermakna dari lafadz “satrul aurah” (menutup aurat) sebagaimana layaknya kaum santri yang mempunyai ciri khas dengan sarung, peci, jubah, surban, pakaian koko, dan sandal ala kadarnya sudah barang tentu bisa masuk dalam golongan huruf sin ini, yaitu menutup aurat. Pengertian menutup aurat di sini mempunyai dua pengertian yang keduanya saling berkolerasi, yaitu menutup aurat secara tampak oleh mata (realistis) dan yang tersirat atau tidak tampak (bathini).

Menutup aurat secara substansi gambarannya sesuai dengan gambaran yang telah tercantum menurut syari’at Islam. Mulai dari pusar sampai lutut bagi pria dan seluruh tubuh kecuali tangan dan wajah bagi wanita. Gambaran tersebut merupakan gambaran yang sudah tersurat dalam aturan-aturan yang sudah jelas dalam syari’at. Namun satu sisi yang kaitannya dengan makna yang tersirat (bathini) terlebih dahulu kita harus mengetahui apa sebenarnya tujuan dari perintah menutup aurat.

Manusia sebagai mahluk yang mulia yang diberikan nilai lebih oleh Allah berupa akal menjadikan posisi manusia sebagai mahluk yang sempurna dibandingkan yang lain. Dengan akal tersebutlah akan terbentuk suatu custom atau habitual yang tentu akan dibarengi dengan budi dan naluri, yang nantinya manusia akan mempunyai rasa malu jika dalam perjalanannya tidak sesuai dengan regulasi yang telah di tentukan oleh agama dan habitual action atau hukum adab setempat.
Kaitannya dengan hal ini, tujuan utama manusia menutup aurat adalah menutupi kemaluan yang dianggap vital dan berharga. Andaikan manusia sudah tidak dapat lagi menutup kemaluannya yang vital dan berharga itu, berarti sudah dapat ditanyakan kemanusiaannya antara manusia dan makhluk yang lain semisal hewan.

Hal yang terpenting di sini adalah bagaimana manusia menutupi dan mempunyai rasa malu dalam hal sifat dan perilaku secara dhahiri dan bathini. Sebagaimana disinggung dalam salah satu hadits Nabi saw: “al-haya`u syu’batun mina al-iman (HR. Muttafaqun alaih)”, malu adalah satu bagian dari iman. Tentunya hal ini sudah jelas betapa besar pengaruhnya haya' atau malu dalam kacamata religius (agama) maupun sosial kemasyarakatan.
Nun, yang bermakna dari lafadz “na`ibul ulama” (wakil dari ulama). Dalam koridor ajaran Islam dikatakan dalam suatu hadits bahwa: “al-‘Ulama warasatul anbiya (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi, ulama adalah pewaris nabi. Rasul adalah pemimpin dari umat, begitu juga ulama. Peran dan fungsi ulama dalam masyarakat sama halnya dengan rasul, sebagai pengayom atau pelayan umat dalam segala dimensi. Tentunya di harapkan seorang ulama mempunyai kepekaan-kepekaan sosial yang tahu atas problematika dan perkembangan serta tuntutan zaman akibat arus globalisasi dan modernisasi, serta dapat menyelesaikannya dengan arif dan bijak atas apa yang terjadi dalam masyarakatnya.
Kaitannya dengan naibul ulama, seorang santri di tuntut mampu aktif, merespon, sekaligus mengikuti perkembangan masyarakat yang diaktualisasikan dalam bentuk sikap dan perilaku yang bijak. Minimal dalam masyarakat kecil yang ada dalam pesantren. Sebagaimana yang kita tahu, pesantren merupakan sub-kultur dari masyarakat yang majemuk, dan dengan didukung potensi yang dimiliki kaum santri itulah yang berfungsi sebagai modal dasar untuk memberikan suatu perubahan yang positif sesuai dengan yang diharapkan Islam.

Ta`, yang bermakna dari lafadz “tarkul ma’ashi” (meninggalkan kemaksiatan). Dengan dasar yang dimiliki kaum santri, khususnya dalam mempelajari syari'at, kaum santri diharapkan mampu memegang prinsip sekaligus konsisten terhadap pendirian dan nilai-nilai ajaran Islam serta hukum adab yang berlaku di masyarakatnya selagi tidak keluar dari jalur syari'at.
Kaitannya hal tersebut yaitu seberapa jauh kaum santri mengaplikasikan apa yang telah mereka dapatkan dan sejauh mana pula ia memegang hubungan hablun minallah (hubungan vertikal dengan sang Khaliq) dan hablun minannas (hubungan horizontal dengan sosial masyarakat). Karena tarkul ma’ashi tidak hanya mencakup pelanggaran-pelanggaran hukum yang telah ditetapkan-Nya, tetapi juga hubungan sosial dengan sesama makhluk, baik manusia ataupun yang lain.
Ra`, yang maknanya dari lafadz “raisul ummah” (pemimpin umat). Manusia selain diberi kehormatan oleh Allah sebagai makhluk yang paling sempurna dibanding yang lain. Manusia juga diangkat sebagai khalifatullah di atas bumi ini. Sebagaimana diterangkan dalam firman-Nya “inni ja’ilun fil ardhi khalifah” (QS. Al-Baqarah: 30), yang artinya “Sesungguhnya Aku ciptakan di muka bumi ini seorang pemimpin.”

Kemuliaan manusia itu ditandai dengan pemberian-Nya yang sangat mempunyai makna untuk menguasai dan mengatur apa saja di alam ini, khususnya umat manusia. Selain itu pula peranan khalifah mempunyai fungsi ganda. Pertama, ibadatullah (beribadah kepada Allah) baik secara individual maupun sosial, di mana sebagai makhluk sosial dalam komunitas berbangsa, umat Islam juga dituntut memberikan manfaat kepada orang lain dalam kerangka ibadah sosial. Kedua, 'imaratul ardhi, yaitu membangun bumi dalam arti mengelola, mengembangkan, dan melestarikan semua yang ada. Jika hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan manusia itu hukumnya wajib. Maka melestarikan, mengembangkan, serta mengelola pun hukumnya wajib. Sebagaimana di jelaskan dalam salah satu kaidah fiqih; “ma la yatimmu al-wajib illa bihi fahuwa wajibun”, sesuatu yang menjadikan kewajiban maka hukumnya pun wajib.

Gambaran di atas merupakan suatu peran serta tanggung jawab seorang santri, dalam hal pengembangan sosial masyarakat. Di situlah diperlukan suatu mentalitas religius serta totalitas kesadaran, karena kaum santri-lah yang dapat dijadikan harapan dalam mengembalikan konsep-konsep ajaran Islam. Sebab, secara tidak langsung santri adalah generasi penerus perjuangan para ulama sekaligus pewaris para Nabi dalam mensyi’arkan dan meneruskan ajaran-ajaran Islam, baik dengan dakwah bil lisan (dengan ucapan/ceramah), dakwah bil kitabah (dengan karya/tulisan) maupun dakwah bil hal (dengan akhlak/perilaku). Maka, sudah seharusnya para santri dapat merealisasikan ilmu-ilmu yang didapat dari pesantren yang pernah disinggahinya. 

Aceh Akan Maju di Tangan Santri
Banda Aceh dalam hitungan tidak lama akan berubah menjadi “provinsi santri” seperti sebutan “kota santri” untuk kecamatan Samalanga. Hal ini disebabkan diseluruh sudut penjuru Aceh didiami santri dan bahkan banyak pesantren-pesantren yang berkuantitas besar dimiliki Aceh. Dayah atau Pesantren adalah lembaga pendidikan pertama yang lahir di Aceh, baru kemudian beridiri lembaga pendidikan umum. Aceh, Dayah, santri, adalah satu paket yang tidak terpisahkan ibarat satu bangunan. Peran santri diakui oleh seluruh lapisan manyarakat, baik di desa maupun di kota. Santri tidak hanya mengambil peran di bidang keagamaan, lebih jauh dari itu peran santri telah dirasakan oleh masyarakat. Bidang keagamaan merupakan skil khsus yang dimiliki santri, di mana-mana santri menjadi suatu kebutuhan urgensitas masyarakat dalam persoalan agama, mulai dari kegiatan wajib hingga kegiatan sunnah. Di dalam bidang sosial kemasyarakatan santri dikenal sangat aktif bersama masyarakat melakukan terobosan yang memicu kea rah progresif. Misalnya, santri menghidupkan shalat berjamaah, membuka pengajian bagi masyarakat dan lain sebagainya. Sejak kelahiran santri di Aceh telah banyak membawa kemajuan dan perkembangan terhadap Aceh, baik dari segi moral maupun ekonomi. Santri memiliki banyak skil dan potensi besar yang bisa dekembangkan untuk memajukan Aceh. Jika orang meanganggap bahwa pendidikan santri gagal total atau kurang efektif atau hanya khsusus dalam ruang lingkup agama itu kesalahan total yang harus ditangani secara cepat.
Mari kita lihat santri yang telah menjabati jabatan besar dalam dunia pemeritahan dan ekonomi. Presiden Gusdur, siapa yang tidak kenal Gusdur, ia mantan santri yang berhasil memimpin Indonesia selama satu periode.

Tgk. Ismail M. Husen, S.HI
Rais AM PC Rabithah Thaliban Banda Aceh
Alumnus Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga

Tgk. Ismail M. Husen Asuh Pengajian ASWAJA Di Ulee Kareng


*IKUTI PENGAJIAN TASTAFI RUTIN UNTUK MUSLIMAH (PEREMPUAN) DI KOTA BANDA ACEH DAN SEKITARNYA*

*🏘Sabtu Pagi🏘
📔Fathul Muin Juz 1
📔Syarah Uqudul Lujain
👳‍♀Pengasuh : Tgk. Ismail M. Husen
Pukul 09.30 - 12.00 WIB


🏘Mimggu Pagi🏘
📔Fathul Muin Juz 1
📔Syarah Uqudul Lujain/ Kitab Awamel
👳‍♀Pengasuh : Tgk. Ismail M. Husen
Pukul 09.30 - 12.00 WIB

🏘Selasa Pagi🏘
📔Fathul Muin Juz 1
📔Syarah Uqudul Lujain/Kitab Awamel
👳‍♀Pengasuh : Tgk. Ismail M. Husen
Pukul 09.30 - 12.00 WIB

🏢 Jl. Tgk. Iskandar, Desa Ceurih Kecamatan Ulee - Banda Aceh
Ketua Pengajian : Tgk. Cut Nadya 0853-6191-4333

#IKUTI PENGAJIAN TASTAFI RUTIN UNTUK MUSLIMAH (PEREMPUAN) DI KOTA BANDA ACEH DAN SEKITARNYA#

*🏘Rabu Malam/ Malam Kamis🏘
📔Kitab Sabilul Muhtadin
📔Kitab Ilmu Tauhid
👳‍Pengasuh : Tgk. Ismail M. Husen
Pukul 20.30 - 22.00 WIB

*🏘Kamis Malam/ Malam Jum'at🏘
📔Al-Qur'an/ Tajwid
📔Tafsir Jalalain
👳‍Pengasuh : Tgk. Ismail M. Husen
Pukul 20.30 - 22.00 WIB

🏢 Di BP Darul Hikmah Al-Aziziyah
Jl. Rama Setia, Lr. Bakti No.73 Gampong Lampaseh Kota - Banda Aceh
Ketua Pengajian : Nurmanila 0853-6191-4333

Minggu, 29 Oktober 2017

Bolehkah Memukul Isteri Karena Tidak Berdandan

Seorang suami diperbolehkan memukul isterinya jika tidak mengindahkan perintahnya berhias, padahal ia menghendaki. Atau lantaran menolak diajak tidur bersama. Diperbolehkan pula seorang suami memukul isterinya lantaran keluar rumah tanpa memperoleh izinnya. Atau karena isterinya itu memukul anak kecil yang sedang rewel. Atau karena mencaci maki orang lain, atau karena menyobek pakaian suaminya, menjambak jenggotnya, atau berkata kepada suaminya: “Hai Kambing, Hai Keledai Hai Tolol, dan lain sebagainya ” sekalipun pencaciannya itu didahului oleh sikap suami yang telah mencacinya.

Begitu pula suami dibenarkan memukul isterinya karena meninggalkan shalat, setelah terlebih dulu diperintah tetapi menolak mengerjakannya. Pendapat inilah yang lebih kuat.
Demikian pula seorang suami diperbolehkan memukul isterinya lantaran isterinya sengaja memamerkan wajahnya kepada lelaki lain. Atau karena asyik berbincang-bincang dengan lelaki lain. Atau sekalipun ia ikut mendengarkan pembicaraan suaminya bersama lelaki lain, dengan maksud agar lelaki lain dapat mencuri pendengaran suara. Atau karena memberikan sesuatu dari rumah suaminya berupa barang yang tidak biasanya diberikan kepada orang lain. Atau karena menolak menjalin kekeluargaan dengan saudara suaminya.

Wasiat Dan Pengajaran Suami
Ketahuilah bahwa, setiap suami hendaknya pandai-pandai memberi pengajaran atau wasiat-wasiat kebajikan kepada isterinya. Rasulullah S.A.W mengingatkan :
“ Artinya: “Mudah- mudahan Allah merahmati seorang suami yang mengingatkan isterinya, ‘Hai Istriku, Jagalah puasamu, Zakatmu, Kasihanilah orang-orang miskin di antaramu, anak-anak yatim dan tetanggamu. Muda-mudahan Allah mengumpulkanmu bersama mereka di surga nanti.

Hendaknya seorang suami selalu memperhatikan nafkahnya sesuai dengan kesanggupannya. Hendaknya suami selalu bersabar jika menerima cercaan isterinya, atau perlakuan-perlakuan tidak baik lainnya. Hendaknya suami mengasihani isterinya, yaitu dengan bentuk memberi pendidikan secara baik, kendati ia seorang terpelajar. Sebab kaum wanita bagaimanapun diciptakan dalam keadaan serba kurang akal dan tipis beragama (kecuali hanya sedikit saja yang mempunyai akal panjang dan beragama kuat). Tersebut dalam hadits: “
Artinya: “Kalaulah bukan karena Allah membuatkan penutup rasa malu bagi kaum wanita, niscaya harganya tidka dapat menyamai segenggam debu. (al- hadits).
Hendaknya seorang suami selalu menuntun isterinya pada jalan-jalan yang baik. Memberi pendidikan kepadanya berupa pengetahuan agama (Islam), meliputi hukum-hukum bersuci (Thaharah) dari hadats besar. Misalnya tentang haid dan nifas. Seorang isteri harus diberi pengetahuan tentang persoalan yang sangat penting itu. Sebab bagaimanapun masalah itu berhubungan erat dengan waktu-waktu shalat.

Demikian pula memberikan pengajaran terhadap masalah ibadah. Meliputi ibadan fardhu (wajib) dan sunnahnya. Pengetahuan tentang shalat, zakat, puasa dan haji.
Jika seorang suami telah memberi pendidikan tentang persoalan pokok tersebut, maka isteri tidak dibenarkan keluar rumah untuk bertanya kepada ulama. Tetapi kalau pengetahuan yang dimiliki suami tidak memadai, sebagai gantinya maka ia sendiri yang harus siap untuk selalu bertanya kepada ulama (orang yang mengerti ilmu agama). Artinya, isteri tetap tidak diperkenankan keluar rumah. Namun, kalau suami tidak mempunyai untuk bertanya, maka isteri dibenarkan keluar rumah untuk bertanya tentang persoalan agama yang dibutuhkan. Hal itu malah menjadi kewajibannya, dan bahkan kalau suaminya melarang keluar berarti telah melakukan kamaksiatan (dosa).
Tetapi isteri harus meminta izinnya lebih dulu jika sewaktu-waktu hendak belajar mengenai ilmu-ilmu tersebut. Isteri harus memperoleh keridhaan suaminya.

Rangkuman Pengajian TASTAFI Kitab Syarah Uqudul Lujaian
DI Majelis Pengajian Maratush Shalilah (MARSHA) 22 Oktober 2017
DI ULEE KARENG 


Diasuh Oleh : Tgk. Ismail M. Husen, S.HI
Rais Am PC Rabithah Thaliban (Ikatan Santri) Kota Banda Aceh

Tgk. Ismail M. Husen Pimpin Rabithah Thaliban Banda Aceh

Tgk. Ismail M. Husen Pimpin Rabithah Thaliban Banda Aceh

Pengurus Besar Rabithah Thaliban Aceh (PB RTA) yang merupakan ikatan santri seluruh Aceh, beberapa hari yang lalu telah mengadakan Rapat Koordinasi (Rakor) di Hotel Mekkah, Banda Aceh, (Senin, 23/10/2017).
Dalam rakor yang dihadiri Ketua Rais ‘Am PB RTA Aceh yakni Tgk Imran Abu Bakar, S.Hi, M.Sy, berlangsung pukul 22.00 WIB. Diantara agenda utama melantik struktur kepengurusan baru cabang RTA untuk Kota Banda Aceh, periode 2017-2021.
Pelantikan untuk pengurus cabang RTA Banda Aceh ini, sebagai Ketua RTA Kota Banda Aceh (Rais ‘Am) adalah Tgk Ismail M Husen, S.HI (Pimpinan BP Darul Hikmah Al-Aziziyah Lampaseh Kota Banda Aceh) dan untuk penjabat Sekretaris Umum (Katib Am) adalah Tgk Akbar Almahalli.

Berikut Susunan Pengurus Rabithah Aceh (Ikatan Santri) Kota Banda :
Majelis Mustasyar :
Ketua : Tgk Muhibban A.Hajad
Wakil ketua : Tgk. Rulsi Daud
Anggota : Tgk Atasykuri (Abana)
Rais ‘Am : Tgk Ismail M Husen, S.Hi
Katib ‘Am : Tgk Akbar Almahalli, dan
Bendahara Umum : Tgk Hamzah, S.Hi
Dan lain-lain.

Sementara itu Tgk Ismail M Husen dalam kesempatan tersebut juga mengharapkan dengan terlantiknya pengurus baru RTA Kota Banda Aceh, maka saat inilah para santri memainkan peran dan kiprahnya dalam mengembangkan ilmu agama, mengabdi kepada masyarakat, bangsa dan negara.

"RTA harus dapat turut serta membantu merealisasikam syaraiat islam di Kota Banda Aceh, dan dapat berisnergi dengan pemerintah dalam membangun Aceh hebat dalam bingkai syariat, ujarnya.

Ketua RTA Kota Banda Aceh, Tgk Ismail M Husen, saat berikan tausiah
"Kiranya ke depan semakin tinggi perhatian Pemerintah kepada santri dan guru-guru dayah di Aceh, dan Santri adalah tameng perjuangan,” demikian lebih lanjut harapan Tgk Ismail yang juga seorang alumni dayah MUDI Samalanga, Bireun.

Kamis, 26 Oktober 2017

WAJAH BARU RABITHAH THALIBAN KOTA BANDA ACEH

Pengurus Besar Rabithah Thaliban Aceh (PB RTA) yang merupakan ikatan santri seluruh Aceh, beberapa hari yang lalu telah mengadakan Rapat Koordinasi (Rakor) di Hotel Mekkah, Banda Aceh, (Senin, 23/10/2017).
Dalam rakor yang dihadiri Ketua Rais ‘Am PB RTA Aceh yakni Tgk Imran Abu Bakar, S.Hi, M.Sy, berlangsung pukul 22.00 WIB. Diantara agenda utama melantik struktur kepengurusan baru cabang RTA untuk Kota Banda Aceh, periode 2017-2021.
Pelantikan untuk pengurus cabang RTA Banda Aceh ini, sebagai Ketua RTA Kota Banda Aceh (Rais ‘Am) adalah Tgk Ismail M Husen, S.HI (Pimpinan BP Darul Hikmah Al-Aziziyah Lampaseh Kota Banda Aceh) dan untuk penjabat Sekretaris Umum (Katib Am) adalah Tgk Akbar Almahalli.

Berikut Susunan Pengurus Rabithah Aceh (Ikatan Santri) Kota Banda :
Majelis Mustasyar :
Ketua : Tgk Muhibban A.Hajad
Wakil ketua : Tgk. Rulsi Daud
Anggota : Tgk Atasykuri (Abana)
Rais ‘Am : Tgk Ismail M Husen, S.Hi
Katib ‘Am : Tgk Akbar Almahalli, dan
Bendahara Umum : Tgk Hamzah, S.Hi
Dan lain-lain.

Sementara itu Tgk Ismail M Husen dalam kesempatan tersebut juga mengharapkan dengan terlantiknya pengurus baru RTA Kota Banda Aceh, maka saat inilah para santri memainkan peran dan kiprahnya dalam mengembangkan ilmu agama, mengabdi kepada masyarakat, bangsa dan negara.

"RTA harus dapat turut serta membantu merealisasikam syaraiat islam di Kota Banda Aceh, dan dapat berisnergi dengan pemerintah dalam membangun Aceh hebat dalam bingkai syariat, ujarnya.

Ketua RTA Kota Banda Aceh, Tgk Ismail M Husen, saat berikan tausiah
"Kiranya ke depan semakin tinggi perhatian Pemerintah kepada santri dan guru-guru dayah di Aceh, dan Santri adalah tameng perjuangan,” demikian lebih lanjut harapan Tgk Ismail yang juga seorang alumni dayah MUDI Samalanga, Bireun.

Rabu, 18 Oktober 2017

PESANTREN SEBAGAI SOLUSI MENDANGKAL RADIKALISME DI INDONESIA

PESANTREN SEBAGAI SOLUSI MENDANGKAL RADIKALISME DI INDONESIA
Pesantren (khusus di Aceh disebut Dayah) sudah lama terpopuler sebagai lembaga pendidikan Islam (ma’had al-‘Ulum al-Diniyah al-Islamiyah) yang sangat unik dan indigenius, keistimewaan negara Indonesia. Telah beratus tahun lahir, tetapi ia masih eksis sampai sekarang ini, meski tanpa dukungan finansial langsung dari negara/pemerintah sekalipun. Ia sering diidentik sebagai institusi (institution) pendidikan klasik, tetapi dalam ekspansinya (expansion) juga melahirkan ribuan generasi muslim yang memiliki pikiran-pikiran modern bahkan progresif. Ia sering dituding sebagai lembaga keagamaan konservatif dan statis. Ini adalah pandangan sekilas dan tidak kritis. Realitasnya Pesantren tetap eksis dalam dinamika modernitas. Pesantren telah mamampu menunjukkan dirinya sebagai lembaga yang bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman tanpa kehilangan identitas dirinya sendiri.
Pesantren pada sisi lain, memiliki khazanah intelektual klasik, karya para sarjana Islam terkemuka dan otoritatif di bidangnya masing-masing. Di dalamnya mengandung pikiran-pikiran pluralistik yang semuanya dihargai. Dalam banyak hal krusial, berkaitan dengan sistem kenegaraan atau politik kebangsaan, Pesantren menampilkan jawaban-jawaban yang sangat relevan dan strategis. Amatlah mengesankan bahwa para Kiyai pengasuh pesantren yang berkumpul dalam perhelatan akbar dan puncak: Muktamar NU 1984 di Situbondo, telah menghasilkan keputusan keagamaan yang bersejarah. Mereka menerima Pancasila sebagai ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan status final. Penerimaan NU atas Pancasila benar-benar dipikirkan oleh NU secara matang,  mendalam dan atas dasar legitimasi teks-teks keagamaan. NU adalah organisasi keeagamaan dan kemasyarakatan pertama menuntaskan penerimaannya atas ideologi Negara ini. K.H. Ahmad Siddiq, konseptor utama keputusan Muktamar 1984 ini, dalam makalahnya yang disampaikan pada Muktamar mengatakan bahwa “Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mencerminkan pandangan Islam tentang ke-Esa-an Allah, yang dikenal pula dengan sebutan Tauhid” dan bahwa “pencantuman anak kalimat “Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa” pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, menunjukkan kuatnya wawasan keagamaan dalam kehidupan bernegara kita sebagai bangsa”. K.H. Ahmad Siddiq pada akhirnya menyimpulkan: “Dengan demikian, Republik Indonesia adalah bentuk upaya final seluruh nasion teristimewa kaum Muslimin untuk mendirikan negara di wilayah Nusantara. Para ulama dalam NU meyakini bahwa penerimaan Pancasila ini dimaksudkan sebagai perjuangan bangsa untuk mencapai kemakmuran dan keadilan sosial. (Muktamar Situbondo, 1984).
Jauh sebelum itu, dalam Muktamar NU tahun 1935 di Banjarmasin (Borneo Selatan), para ulama sepakat menyatakan bahwa mempertahankan kawasan Kerajaan Hindia Belanda (nama Negara Indonesia wakti itu) adalah wajib. Ini didasarkan pada pemikiran bahwa kaum muslimin merdeka dan bebas menjalankan Islam, dan karena pada awalnya kawasan ini adalah Kerajaan Islam.  Jawaban kedua ini, dirujuk dari kitab “Bughyah al-Mustarsyidin”.
Para ulama pesantren NU berdasarkan keputusan Muktamar Banjarmasin tahun 1935 itu, dapat menerima realitas tentang kedudukan negara dalam pandangan Islam menurut paham organisasi tersebut. Mereka tampaknya lebih berpikir substantif daripada berpikir formalistik. Bagi mereka yang paling utama bukannya nama/ label agama bagi sebuah negara, sebagaimana dianut beberapa negara lain, seperti Saudi Arabia, Pakistan atau Malaysia, melainkan implementasi ajarannya dalam kehidupan negara-bangsa. Gus Dur menyebutkan paling tidak tiga alasan utama atas keputusan ini. Pertama bahwa negara ini secara faktual dan real dihuni oleh masyarakat bangsa yang plural dan heterogin. Kedua, secara real Islam tidak memiliki ajaran formal yang baku tentang negara. Ketiga pelaksanaan ajaran-ajaran Islam adalah menjadi tanggungjawab masyarakat, bukan tanggungjawab negara.
Tidak dapat diingkari bahwa dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, pesantren telah memainkan peran transformasi sosial dan kultural itu. Pesantren selalu menunjukkan apresiasi terhadap kebudayaan lokal. Pesantren melakukan sikap akomodatif atas kebudayaan-kebudayaan dan tradisi-tradisi lokal tersebut. Melalui ajaran-ajaran sufismenya, Pesantren menganggap bahwa praktik-praktik tradisi dan ekspresi-ekspresi budaya dalam masyarakat bukanlah masalah, sepanjang mendasarkan diri pada prinsip Tauhid. Tampak sekali lagi bahwa pesantren melihat persoalan-persoalan ini dari aspek substansinya, bukan format dan mekanisme formalistiknya. Oleh karena itu pesantren menolak tegas sikap dan cara pandang kelompok puritan-radikal yang memahami pandangan akomodatif tersebut sebagai bid’ah (sesat) dan musyrik. Pandangan-pandangan keagamaan pesantren sebagaimana sebagiannya disebut di atas, memiliki akar ajaran teologisnya. Yakni Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Ahli Sunnah wa Aljama’ah adalah paham keagamaan yang menjunjung tinggi asas-asas moderasi dalam cara berpikir, bertindak dan bersikap. Ia adalah al-Tawasuth (moderat), al-Tawazun (keseimbangan) dan al Tasâmuh (toleran).
Dengan basis ini, pesantren sejatinya dapat menerima perkembangan ilmu pengetahuan yang berbasis rasionalitas dari manapun datangnya, tetapi juga tetap menghargai pemahaman keagamaan konservatif sepanjang memberikan manfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan mereka. Inilah yang dalam tradisi Pesantren dikenal jargon: “al-Muhafazhah ‘ala al qadim al shalih wa al Akhdz bi al Jadid al Ashlah” (mempertahankan tradisi/ pemikiran lama yang baik dan mengadopsi tradisi atau pemikiran baru yang lebih baik (dari manapun datangnya).
Keputusan keagamaan yang dihasikan para ulama Pesantren di atas diyakini banyak pihak memiliki relevansi untuk mengatasi problem politik umat Islam Indonesia yang tengah berada dalam situasi yang mengkhawatirkan dewasa ini. Ideologi Aswaja yang menjadi anutan pesantren inilah yang dapat memberikan jawaban secara telak tuduhan “ekstrimis” atau “teroris” yang dialamatkan kepada Pesantren dan lebih jauh Islam. Aswaja tafsir pesantren tidak pernah mengenal penggunaan cara-cara radikal atau cara-cara kekerasan atas nama atau simbol agama terhadap orang lain meski mereka berbeda aliran keagamaan, bahkan juga terhadap mereka yang berbeda agamanya. Aswaja juga tidak pernah menganjurkan pengikutnya untuk memulai perang terhadap orang kafir/ non muslim. Perang dapat dijalankan hanya dalam rangka membela diri dari serangan mereka. Jika ada kemunkaran yang terjadi dalam masyarakat, doktrin Aswaja mengajarkan“Amar Ma’ruf Nahi Munkar”,  melalui “hikmah” (ilmu pengetahuan), mau’izhah hasanah (nasehat yang santun) dan mujadalah billati hiya ahsan (berdebat dengan cara yang terbaik)Cara lain adalah melalui aturan-aturan hukum yang adil dan dilaksanakan dengan konsekuen. Hukum yang adil adalah pilar utama bagi kehidupan bersama masyarakat bangsa. Demikianlah, maka adalah jelas Aswaja menolak cara-cara penyebaran agama dengan kekerasan baik fisik, psikis maupun pembunuhan karakter. Dengan ungkapan lain, mereka yang menggunakan kekerasan dalam menyebarkan agama, meski dengan mengatasnamakan agama atau umat Islam bukan bagian dari masyarakat Aswaja dan Pesantren. Kita harus waspadai klaim-klaim mereka itu.
Jika demikian, sebagai tanggungjawab keagamaan dan komitmen kebangsaan (nasionalisme), pesantren sudah saatnya tampil di garda paling depan untuk menyelamatkan negara dan bangsa ini dari ancaman dan aksi-aksi gerakan radikal itu. Pembiaran terhadap ideologi dan gerakan radikalisme yang mengatasnamakan Islam secara niscaya akan meruntuhkan bangunan negara-bangsa dan menghancurkan kesatuan Negara Repulbik Indonesia yang sudah dissepakati bersama itu. Sikap dan tindakan pesantren itu kini sedang ditunggu-tunggu oleh masyarakat bangsa. 
Abi Ismail M Husen, S.HI
Alumnus Pondok Pesantren MUDI Mesjid Raya Samalanga Aceh

Islam Rahmatan Lil-‘Alamin & Toleransi Agama

Islam Rahmatan Lil-‘Alamin & Toleransi Agama
Oleh : Kiai Idrus Ramli
Tidak dapat dipungkiri bahwa di antara keistimewaan agama Islam adalah jati dirinya yang membawa misi rahmatan lil-‘alamin yang diterapkan dan menjadi karakteristik Nabi saw dalam setiap langkah dan dakwahnya. Akhir-akhir ini kita juga semakin sering mendengar slogan Islam rahmatan lil-‘alamin (Islam membawa rahmat kepada semesta alam). Hanya saja slogan rahmatan lil-‘alamin ini seringkali dieksploitasi secara berlebihan, sehingga mengaburkan makna rahmatan lil-‘alamin yang sebenarnya seperti yang telah dipaparkan oleh para ulama tafsir al-Qur’an.
Tidak jarang, slogan rahmatan lil-‘alamin, dijadikan justifikasi oleh sebagian kalangan yang memberikan khutbah dalam acara kebaktian agama lain, kalangan yang menjaga keamanan tempat ibadah agama lain, doa bersama lintas agama dan lain sebagainya. Oleh karena itu tulisan ini akan berupaya mengupas makna rahmatan lil-‘alamin serta kaitannya dengan interaksi umat Islam dengan non Muslim.
Makna Rahmatan Lil-‘Alamin
Sebagai umat Islam, tentu kita harus meyakini slogan rahmatan lil-‘alamin, karena istilah rahmatan lil-‘alamin ini telah diproklamirkan oleh al-Qur’an sebagai salah satu karakteristik risalah dan kepribadian Nabi Muhammad saw, yang harus dihayati dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari oleh setiap Muslim. Hanya saja, apa sebenarnya makna rahmatan lil-‘alamin yang menjadi salah satu ciri khas dan karakteristik dakwah Islam tersebut?
Istilah rahmatan lil-‘alamin ini dipetik dari salah satu ayat dalam al-Qur’an yang berbunyi, “wa maa arsalnaaka illaa rahmatan lil-‘aalamiin (Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam).” (QS. al-Anbiya’ : 107). Dalam ayat ini, kalimat rahmatan lil-‘alamin secara tegas dikaitkan dengan kerasulan Nabi saw. Dalam artian, Allah tidak menjadikan Nabi saw sebagai rasul, melainkan kerasulan beliau menjadi rahmat bagi semesta alam. Oleh karena rahmat yang diberikan Allah kepada semesta alam ini dikaitkan dengan kerasulan Nabi saw, maka umat manusia dalam menerima bagian dari rahmat tersebut berbeda-beda. Ada yang menerima rahmat tersebut dengan sempurna, dan ada pula yang menerima rahmat tersebut tidak sempurna.
Ketika menafsirkan ayat di atas, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, sahabat Nabi saw yang pakar dalam bidang tafsir berkata: “Orang yang beriman kepada Nabi saw, maka akan memperoleh rahmat Allah dengan sempurna di dunia dan akhirat. Sedangkan orang yang tidak beriman kepada Nabi saw, maka akan diselamatkan dari azab yang ditimpakan kepada umat-umat terdahulu ketika masih di dunia seperti dirubah menjadi hewan atau dilemparkan batu dari langit.” Demikian penafsiran yang dinilai paling kuat oleh al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi dalam tafsirnya, al-Durr al-Mantsur.
Penafsiran di atas diperkuat dengan hadits shahih yang menegaskan bahwa rahmatan lil-‘alamin telah menjadi karakteristik Nabi saw dalam dakwahnya. Ketika sebagian sahabat mengusulkan kepada beliau, agar mendoakan keburukan bagi orang-orang Musyrik, Nabi saw menjawab: “Aku diutus bukanlah sebagai pembawa kutukan, tetapi aku diutus sebagai pembawa rahmat.” (HR. Muslim).
Penafsiran di atas memberikan gambaran, bahwa karakter rahmatan lil-‘alamin memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan kerasulan Nabi saw. Oleh karena itu, dalam kitab-kitab tafsir yang ada, tidak kita temukan keterkaitan makna rahmatan lil-‘alamin dengan sikap toleransi seorang Muslim yang berlebih-lebihan dengan komunitas agama lain. Hal ini berangkat dari kenyataan bahwa rahmatan lil-‘alamin sangat erat kaitannya dengan kerasulan Nabi saw. Sebagaimana dimaklumi, rasul adalah seseorang yang mendapatkan wahyu dari Allah tentang suatu ajaran yang harus disampaikan kepada umatnya. Maka seorang Muslim, dalam menghayati dan menerapkan pesan Islam rahmatan lil-‘alamin tidak boleh menghilangkan misi dakwah yang dibawa oleh Islam itu sendiri, seperti dengan memberikan khutbah dalam acara kebaktian agama lain, menjaga keamanan tempat ibadah dan acara ritual agama lain, atau doa bersama lintas agama dengan alasan Islam rahmatan lil-‘alamin. Karena, hal itu selain mengaburkan makna rahmatan lil-‘alamin yang berkaitan erat dengan misi dakwah Islam, juga dapat mereduksi terhadap pesan-pesan al-Qur’an dalam ayat-ayat yang lain.
Sebagaimana dimaklumi, selain sebagai rahmatan lil-‘alamin, Nabi saw diutus juga bertugas sebagai basyiiran wa nadziiran lil-‘aalamiin (pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan kepada seluruh alam). “Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqaan (Al Qur'an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.” (QS. al-Furqan : 1). “Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan (basyiiran wa nadziiran), tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (QS. Saba’ : 28). Sebagai pengejawantahan dari ayat-ayat ini, seorang Muslim dalam interaksinya dengan orang lain, selain harus menerapkan watak rahmatan lil-‘alamin, juga bertanggungjawab menyebarkan misi basyiran wa nadziran lil-‘alamin.
Interaksi Dengan Non Muslim
Oleh karena seorang Muslim bertanggungjawab menjalankan misi rahmatan lil-‘alamin, Islam tidak melarang umatnya berinteraksi dengan komunitas agama lain. Rahmat Allah yang diberikan melalui Islam, tidak mungkin dapat kita sampaikan kepada umat lain, jika komunikasi kita dengan mereka tidak berjalan baik. Oleh karena itu, para fuqaha dari berbagai madzhab membolehkan seorang Muslim memberikan sedekah sunnat kepada non Muslim yang bukan kafir harbi. Demikian pula sebaliknya, seorang Muslim diperbolehkan menerima bantuan dan hadiah yang diberikan oleh non Muslim. Para fuqaha juga mewajibkan seorang Muslim memberi nafkah kepada istri, orang tua dan anak-anak yang non Muslim.
Di sisi lain, karena seorang Muslim bertanggungjawab menerapkan basyiran wa nadziran lil-‘alamin, Islam melarang umatnya berinteraksi dengan non Muslim dalam hal-hal yang dapat menghapus misi dakwah Islam terhadap mereka. Mayoritas fuqahak tidak memperbolehkan seorang Muslim menjadi pekerja tempat ibadah agama lain, seperti menjadi tukang kayu, pekerja bangunan dan lain sebagainya, karena hal itu termasuk menolong orang lain dalam hal kemaksiatan, ciri khas dan syiar agama mereka yang salah dalam pandangan Islam. “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. al-Ma’idah : 2).
Doa Bersama Lintas Agama
Doa bersama lintas agama, dewasa ini juga agak marak dilakukan dengan alasan Islam rahmatan lil-‘alamin. Padahal sebenarnya jika kita amati agak mendalam, karakter rahmatan lil-‘alamin, dari dekat maupun dari jauh, tidak ada kaitannya dengan doa bersama lintas agama. Sebagaimana dimaklumi, doa merupakan inti dari pada ibadah (mukhkhul ‘ibadah), yang dilakukan oleh seorang hamba kepada Tuhan. Tidak jarang, seorang Muslim berdoa kepada Allah, dengan harapan memperoleh pertolongan agar segera keluar dari kesulitan yang sedang dihadapi. Tentu saja, ketika seseorang berharap agar Allah segera mengabulkan doanya, ia harus lebih berhati-hati, memperbanyak ibadah, bersedekah, bertaubat dan melakukan kebajikan-kebajikan lainnya. Dalam hal ini, semakin baik jika ia memohon doa kepada orang-orang saleh yang dekat kepada Allah. Hal ini sebagaimana telah dikupas secara mendalam oleh para fuqaha dalam bab shalat istisqa’ (mohon diturunkannya hujan) dalam kitab-kitab fiqih.
Ada dua pendapat di kalangan fuqaha tentang hukum menghadirkan kaum non Muslim untuk doa bersama dalam shalat istisqa’. Pertama, menurut mayoritas ulama (madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali), tidak dianjurkan dan makruh menghadirkan non Muslim dalam doa bersama dalam shalat istisqa’. Hanya saja, seandainya mereka menghadiri acara tersebut dengan inisiatif sendiri dan tempat mereka tidak berkumpul dengan umat Islam, maka kita tidak berhak melarang. Pandangan ini beralasan, bahwa kaum non Muslim itu musuh-musuh Allah yang telah kufur, yang sudah barang tentu jauh dari terkabulnya permohonan. Dan seandainya Allah menurunkan hujan setelah itu, dikhawatirkan mereka akan berkata, “Hujan ini turun berkat doa kami.”
Kedua, menurut madzhab Hanafi dan sebagian pengikut Maliki, bahwa non Muslim tidak boleh dihadirkan atau hadir sendiri dalam acara doa bersama shalat istisqa’, karena mereka tidak dapat mendekatkan diri kepada Allah dengan berdoa. Doa istisqa’ itu memohon turunnya rahmat dari Allah, sedangkan rahmat Allah tidak akan turun kepada mereka. Demikian kesimpulan pendapat fuqaha’ dalam kitab-kitab fiqih. Dengan demikian, jika dalam berdoa kita mengharapkan turunnya rahmat dari Allah, sebaiknya kita mendatangkan orang-orang saleh yang dekat kepada Allah, bukan orang-orang yang jauh dan atau justru menjadi musuh Allah, agar doa kita benar-benar dikabulkan oleh Allah. Wallahu a’lam.
LANDASAN KAFAAH MENURUT FIQH MALIKIYAH DAN SYAFIYAH

Sejarah Perkembangan Fiqh Al-Mālikiyyah
1. Pengertian fiqhal-Mālikiyyah
Fiqh secara etimologi adalah pemahaman tentang sesuatu secara absolut. Fiqh ditinjau menurut terminologi fuqahā` al-Mālikiyyah adalah:
الفقه فهوالعلم بالأحكام الشرعية المكتسب من أدلتها التفصيلية.[2]
“Fiqh adalah pengetahuan terhadap hukum-hukum syari’at yang diperoleh melalui dalil-dalilnya yang terperinci.
Al-Mālikiyyah (المالكية), asal kata dari مالك, yang artinya adalah seseorang yang diberikan nama Mālik yaitu kakek al-ImāmMālik, kemudian ditambahkan ya nisbah untuk digunakan pada seorang ulama pendiri mazhab yang bernamaal-ImāmMālik ibn Anas yang dibangsakan kepada kakeknya Mālik, kemudian ditambahkan ta marbūthah diujungnya untuk menguatkan bangsaan.
Namun, yang dimaksud dengan al-Mālikiyyah di sini adalah ulama-ulama yang menganut mazhab al-Mālikī.Kalimat al-Mālikiyyah dilihat dari sisi penisbatan sama persis dengan kalimat al-Syāfi’iyyah.Penulis tidak menemukan referensikhususuntuk kalimat al-Mālikiyyah, namun bisadilihat perbandingannya pada kalimat al-Syāfi’iyyah.[3]
Dengan melihat kedua pengertian di atas (fiqh dan al-Mālikiyyah), maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan fiqh al-Mālikiyyah adalahpengetahuan fuqahā` mazhab al-Mālikī terhadap hukum-hukum syari'at yang diperoleh melalui dali-dali yang terperinci.
2. Biografi al-ImāmMālik
Berkaitan dengan ulama besar al-Imām Mālik sebagai ulama yang terkenal dengan popularitas dan keahliannya di bidang ilmu pengetahuan agama Islam yang berlautan luas dalam kacamata ummat Islam di dunia ini, dapat digambarkan dengan sebuah gambaran tentang bagaimana al-Imām Mālik menempuh pengembaraan intelektualnya sehingga beliau menjadi seorang ulama yang mempunyai skil khusus dalam bidang hukum Islam.[4]
Dahulu kala tepatnya tahun 93 H. di kota Madinah lahir seorang anak yang di kemudian hari dikenal dengan sebutan al-Imām Mālik. Kuniyah beliau Abū ‘Abdillah, yang bernama lengkap Mālik ibn Anas ibn Mālik ibn Abī‘Āmir al-Ashbahī al-‘Arabī al-Yamniyyah. Ayah al-Imām Mālik, Anas adalah salah seorang ulama besar dari kalangan Tābi’īn. Ibu al-Imām Mālik bernama ‘Aisyah ibnti Syarīk al-Azdiyyah.
Paman-paman al-Imām Mālik bernama Abū Suhail Nāfi’, Uwais, al-Rabī’, al-Nadhar, semuanya putra Abū ‘Āmir. Al-Imām Mālik lahir di Madinah pada tahun 712 Mdan wafat pada tahun 789 M.[5]
Al-Imām Mālikberasal dari keluarga Arab terhormat. Tanah asal leluhurnya adalah Yaman, namun setelah nenek moyangnya menganut Islam, mereka pindah ke Madinah. Kakeknya, Abū ‘Āmir, adalah anggota keluarga pertama yang memeluk agama Islam pada tahun 2 H. Saat itu, Madinah adalah kota ilmu yang sangat terkenal. Kakek dan ayahnya termasuk kelompok ulama hadis terpandang di Madinah. Karenanya, sejak kecil al-Imām Mālik tidak berniat meninggalkan Madinah untuk mencari ilmu.[6]
Karena keluarganya ulama ahli hadis, maka al-Imām Mālik pun menekuni pelajaran hadis kepada ayah dan paman-pamannya. Kendati demikian, ia pernah berguru pada ulama-ulama terkenal seperti Nāfi’ ibn Abī Nu’aim ibnSyihāb al-Zuhrī, Abū al-Zinād, Hāsyim ibn Urwa, Yahya ibnSa’īd al-Anshārī, dan Muhammad ibn Munkadir.[7]
Dalam usia muda, al-Imām Mālik telah menguasai banyak ilmu. Kecintaannya kepada ilmu menjadikan hampir seluruh hidupnya diabadikan dalam dunia pendidikan. Tidak kurang empat khalifah, mulai dari al-Mansur, al-Mahdi, Hadi Harun dan al-Ma’mun pernah menjadi murid al-Imām Mālik. Ulama besar, al-Imām Abū Hanīfah dan al-Imāmal-Syāfi’ī juga pernah menimba ilmu dari al-Imām Mālik. Belum lagi ilmuwan dan para ahli lainnya. Menurut sebuah riwayat disebutkan murid terkenal al-Imām Mālikmencapai 1.300 orang.[8]
Murid-murid al-Imām Mālik banyak sekali. Di antara mereka yang sangat terkenal adalah Ishāq ibn‘Abadullah ibn Abū Thalhah, Ayyub ibn Abū Tamīmah al-Sakhtiyanī, Ayyub ibn Habīb al-Juhanī, Ibrāhīm ibn ‘Uqbah, Ismāīl ibn Abī Hakim, Ismāīl ibn Muhammad ibn Sa’addan al-Imām al-Syāfi’ī.[9]
Sahabat-sahabat al-Imām Mālik di antaranya adalah Ma’maribn Juraij, Abū Hanīfah, ‘Amr ibn al-Hārits, al-Auza’ī, Syu’bah, al-Tsaurī, Juwairiyyah ibn Asmā’, al-Laits, Hammad ibn Zaid.[10]
Al-Imām Mālik mempunyai karya yang besar di bidang hadis, yaitu kitab al-Muwattha`, karya beliau lainnya adalah Risālat fī al-Qadar, Risālat fī al-Aqdhiyyah dan satu juz tentang tafsir. Di samping karya-karya beliau lainnya yang tidak disebutkan di sini.[11]
3. Perkembanganmazhab al-Mālikī
Mazhab adalah bashasa Arab yang artinya jalan yang dilalui. Tetapi dalam istilah syari’at Islam berarti fatwa-fatwa atau pendapat seorang imam mujtahid.[12]
Berdasarkan definisi di atas, maka mazhab al-Mālikī adalah fatwa-fatwa al-Imām Mālik ibn Anas dan sahabat-sahabatnya.
Dari al-Muwatta' hingga mazhab al-Mālikī. Al-Muwatta' adalah kitab fiqh berdasarkan himpunan hadis-hadis pilihan. Ia menjadi rujukan penting, khususnya di kalangan pesantren dan ulama kontemporer. Ia disusun berdasarkan klasifikasi fiqh dengan memperinci kaedah fiqh yang diambil dari hadis dan fatwa sahabat.[13]
Menurut beberapa riwayat, sesungguhnya al-Muwatta' tak akan lahir bila al-Imām Mālik tidak dipaksa Khalifah al-Mansur. Setelah penolakan untuk ke Baghdad, Khalifah al-Mansur meminta al-Imām Mālik mengumpulkan hadis dan membukukannya. Awalnya, al-Imām Mālik enggan melakukan itu. Namun, karena dipandang tak ada salahnya melakukan hal tersebut, akhirnya lahirlah al-Muwatta'. Ditulis di masa al-Mansur (754-775 M) dan baru selesai di masa al-Mahdi (775-785 M).[14]
Menurut Syah Waliyullah, kitab ini merupakan himpunan hadis paling shahīh dan terpilih. Al-Imām Mālik memang menekankan betul terujinya para perawi. Semula, kitab ini memuat 10 ribu hadis. Namun, lewat penelitian ulang, al-Imām Mālik hanya memasukkan 1.720 hadis. Selain al-Muwatta',al-Imām Mālik juga menyusun kitab al-Mudawwanah al-Kubrā, yang berisi fatwa-fatwa dan jawaban al-Imām Mālik atas berbagai persoalan. Al-Imām Mālik tidak hanya meninggalkan warisan buku. Ia juga mewariskan mazhab fiqh di kalangan Islam Sunnī, yang disebut sebagai umat al-Mālikī.[15]
Sumber hukum yang dikembangkan dalam mazhab al-Mālikī di antaranya adalah:
a. Al-Qur`ān
b. Hadis
c. Ijmā’
d. Qiyās (analogi)
e. Perkataan dan amalan sahabat
f. Tradisi masyarakat Madinah (amal ahl al-Madinah)
g. Al-Mashlahat al-Mursalah (kemaslahatan yang tidak didukung atau dilarang oleh dalil tertentu).[16]
h. Al-Istiẖsan
i. Memelihara khilaf (murā’at al-Khilāf)
j. Mafhūm Muwāfaqah
k. Syar’u Man Qablanā.[17]
Mazhab al-Mālikī pernah menjadi mazhab resmi di Mekah, Madinah, Irak, Mesir, al-jazair, Tunisia, Andalusia (kini Spanyol), Marokko, dan Sudan. Kecuali di tiga negara yang disebut terakhir, jumlah pengikut mazhab al-Mālikī kini menyusut. Mayoritas penduduk Mekah dan Madinah saat ini mengikuti mazhab al-Hanbalī. Di Iran dan Mesir, jumlah pengikut mazhab al-Mālikī juga tidak banyak. Hanya Marokko saat ini satu-satunya negara yang secara resmi menganut mazhab al-Mālikī.

C. Sejarah Perkembangan Fiqh Al-Syāfi’iyyah
1. Pengertian fiqhal-Syāfi’iyyah
Dalam hal ini pengertian fiqh yang ada di sini sama persis dengan pengertian fiqh yang telah penulis sebutkan sebelumnya, namun demikian perlu penulis tegaskan bahwa di sini terdapat perbedaan pandangan ulama al-Syāfi’iyyah tentang pengertian fiqh menurut terminologi sebagaimana uraian berikut ini:
Syaikh al-Islam Zakariyyā al-Anshārī dalam kitabnya ”Ghayat al-Wushūl” menyinggung sedikit mengenai definisi fiqh dengan redaksi berikut ini:
علم بحكم شرعي عملي مكتسب من دليل تفصيلي.[18]
”Pengetahuan terhadap hukum syara’ yang bersifat amaliah dan diperoleh daril-dalinya yang terperinci”
Sedangkan menurut Jalāl al-Dīn Muhammad ibn Ahmadal-Mahallī fiqh adalah:
[19]الاحكام الشرعية التى طريقها الاجتهاد.
“Hukum syara’ yang berlandaskan ijtihad”.
Dalam hal ini penulis memilih pengertian fiqh yang disampaikan oleh Syaikh al-Islam Zakariyyā al-Anshārī karena mendapat banyak dukungan redaksi kitab lain, seperti Syarh Lathāif al-Isyārah.[20]
Al-Syāfi’iyyah (الشافعية), asal kata dari شافع, yang artinya seseorang yang dinamakan dengan Syāfi’ yaitu kakek al-Imām al-Syāfi’ī, kemudian ditambahkan ya nisbah sehingga berubah artinya menjadi seorang mujtahid muthlāq yang bernama Muhammad ibn Idrīs yang dibangsakan kepada kakeknya Syāfi’. Kemudian diiringi ta marbūthah diujungnya untuk menguatkan bangsaan. Namun, yang dimaksud dengan al-Syāfi’iyyah di sini adalah ulama-ulama yang menganut mazhab al-Imām al-Syāfi’ī.[21]
Dengan melihat kedua pengertian tersebut (fiqh dan al-Syāfi’iyyah), maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan fiqh al-Syāfi’iyyah adalah pengetahuan fuqahā` mazhab al-Syāfi’ī terhadap hukum-hukum syari'at yang diperoleh melalui dali-dali yang terperinci.
2. Biografi al-Imām al-Syāfi’ī
Berkenaan dengan sosok al-Imāmal-Syāfi’ī sebagai ulama yang sangat populer dan karismatik dalam pandangan umat Islam di dunia pada umumnya dan di Indonesia pada kusunya, dapat diberikan sebuah gambaran tentang bagaimana beliau menjalani pengembaraan intelektualnya hingga menjadi pakar dalam bidang hukum Islam, yang banyak belajar pada ulama-ulama terkemuka pada masa di mana ia hidup.
Nama lengkap al-Imām al-Syāfi’ī adalah Abū‘Abdillah Muhammad ibnIdrīs ibn al-‘Abbās ibn‘Utsmān ibn Syāfi’ibnal-Sā`ib ibn ‘Ubaid ibn ‘Abd al-Yazīd ibn Hāsyim ibn ‘Abd al-Muthallib ibn‘Abd al-Manāf. Al-Imāmal-Syāfi’ī lahir pada tahun 150 H tepat pada pertengahan abad ke II Hijriyah di tanah Gazza, sebuah wilayah ‘Asqalān yang letaknya dekat dengan pantai lautan putih (lautan mati) sebelah tengah Palestina (Syam), dan wafat di mesir pada tahun 204 H.[22]
Sudah menjadi kelaziman di kalangan mayoritas umat manusia, yang bahwa di mana tempat kelahiran maka di situ pula menjadi kampung halaman, tapi sebalik dengan al-Imām al-Syāfi’ī. Kampung halaman al-Imām al-Syāfi’ī RHL adalah bukan di Gazza (Palestina), tetapi di Mekah (Hijaz). Hanya saja ibu-bapak beliau datang ke Gazza untuk suatu keperluan, dan al-Imām al-Syāfi’ī ditakdirkan lahir di Gazza.[23]
Al-Imām al-Syāfi’ī mempelajari ilmu tafsir, fiqh dan hadis pada guru-gurunya yang banyak, yang negerinya di antara satu dengan yang lain berjauhan. Guru-guru al-Imām al-Syāfi’ī yang masyhur di antara lain di Mekah; Muslim ibn Khālid al-Zanjī, Ismāīl ibn Qusthantein, Sufyān ibn Ujainah, Sa’ad ibn Abī Sālim al-Qaddah, Dāud ibn‘Abdurrahman al-Athar, ‘Abd al-lhamīd ibn‘Abdal-Azīz.[24]
Di Madinah; al-Imām Mālik ibn Anas, Ibrāhīm ibn Mas’ūd al-Anshārī, ‘Abdal-Azīz ibn Muhammad al-Darurdī, Ibrāhīm ibn Abī Yahya al-Asāmī, Muhammad ibn Sa’ad, ‘Abdullah ibn Nāfi’.[25]Di Yaman: Mathrar ibn Mazir, Hisyām ibn Abī Yusuf, ‘Umar ibn Abī Salāmah (pembangun mazhab al-Auza’ī, dan Yahya ibn Hasan (pembangun mazhab Laits). Di Iraq; Wakī’ ibn Jarrah, Humad ibnUsamah, Ismāīl ibn ‘Ulyah, ‘Abd al-Wahhāb ibn ‘Abd al-Majīd, Muhammad ibn Hasan, Qādhi ibnYūsuf.[26]
2. Perkembangan mazhab al-Syāfi’ī
Sebagaimana yang telah penulis sebutkan sebelumnya, bahwa pengertian mazhab dalam istilah syari’at Islam berarti fatwa-fatwa atau pendapat seorang imam mujtahid.[27]Berdasarkan definisi tersebut, maka mazhab al-Syāfi’ī adalah fatwa-fatwa Muhammad ibn Idrīs dan sahabat-sahabatnya.
Setelah al-Imām al-Syāfi’ī memiliki ilmu yang sangat tinggi dan pemahaman yang begitu dalam dan tajam, timbullah inspirasinya untuk berfatwa sendiri mengeluarkan hukum-hukum dari al-Qur`ān dan hadis sesuai dengan ijtihādnya sendiri, terlepas dari fatwa-fatwa gurunya al-Imām Mālik dan ulama-ulama al-Hanafīyyah di Iraq.[28]
Hal ini terjadi pada tahun 198 H, yaitu sesudah al-Imām al-Syāfi’ī berusia 47 tahun dan setelah melalui masa belajar lebih kurang 40 tahun.
Al-Imām al-Syāfi’ī telah menghafalal-Qur`ān dan berpuluh ribu hadis di luar kepala dan juga telah mendalami tafsir dari ayat al-Qur`ān dan makna hadis-hadis serta pendapat-pendapat ulama yang terdahulu. Al-Imām al-Syāfi’ī berfatwa dengan lisan menurut ijtihadnya (pendapat) dan juga mengarang kitab-kitab yang berisikan pendapatnya itu.[29]
Sumber hukum yang dikembangkan dalam mazhab al-Syāfi’ī adalah:
a. Al-Qur`ān
b. Hadis
c. Ijmā’
d. Qiyās (analogi)
e. Al-Istisẖāb.[30]
Mazhab ini mulanya tumbuh di Iraq dan Mesir, kemudian tersiar luas di Iraq, Mesir, Khurasan, Yaman, Oman, Sudan, Somali, Syiria, Palestina, Philipina dll.[31]Diantara semua aliran mazhab yang pernah muncul dalam Islam, hanya empat mazhab yang telah disepakati kesahihannya oleh manyoritas umat Islam, bahkan menurut Tajul Alam Safiyatuddin Syah (Raja Aceh) yang berkuasa dari tahun 1641 Msampai 1675 M).[32] Al-Imām al-Syāfi’ī mengutarakan dalam karyanya, Risalat Masāil al-Muhtadīn lī Ikhwān al-Muhtadīn yang sangat populer pada madrasah ibtidaiyah di Tanah Rincong (Aceh) yaitu, termasuk salah satu fardhu dan kesempurnaan iman mengikut ijmā’segala sahabat yang empat dan imam yang empat yaitu al-Imām al-Syāfi’ī,al-Imām Abū Hanīfah, al-Imām Mālikdan al-Imām Ahmad ibn Hanbal.[33]
Dalam sejarah perjalanan, mazhab al-Syāfi’ī telah melalui beberapa periode. Pertama, periode persiapan dan pembentukan. Kedua, masa kelahiran mazhab al-Qadīm. Ketiga, pematangan dan penyempurnaan mazhab al-Qadīm. Keempat, penafsiran dan pengembangan mazhab.Kelima, kemapanan mazhab.[34]
Boleh dikatakan bahwa bangsa Indonesia adalah penganut mazhab al-Syāfi’ī dengan jumlah kapasitas yang sangat besar.[35]Mazhab al-Syāfi’ī adalah sebuah mazhab yang didirikan oleh Muhammad ibn Idrīs al-Syāfi’ī (ulama abad ke dua Hijriyah). Dalam mazhabnya memiliki dua pendapat yang berbeda, pendapat beliau yang lama yaitu ketika beliau berdomisili di Iraq, disebut al-Qaul al-Qadīm, dan ada pula pendapat beliau yang baru setelah kepindahan beliau ke Mesir, disebut al-Qaul al-Jadīd, selain itu di antara ulama mazhab al-Syāfi’ī juga terdapat perbedaan pendapat dalam memecahkan ranting fiqh.[36]

D. Pengertian Kafā`ah Menurut Fiqh Al-Mālikiyyah dan Al-Syāfi’iyyah
1. Pengertian kafā`ah menurut fiqh al-Mālikiyyah
Secara etimologi kafā`ah berasal dari kata كفوء, artinya serupa.[37]
Ibn ‘Arafah dalam kitab al-Tāj wa al-Iklīl menyebutkan pengertian kafā`ah yaitu:
الكفاءة المماثلة والمقاربة.[38]
“Kafā`ah adalah persamaan dan pendekatan”
Namun menurut terminologi fuqahā` mazhab al-Mālikī kafā`ah adalah:
الكفاءة في النكاح المماثلة في أمرين: أحدهما: التدين بان يكون مسلما غير فاسق, ثانيهما, السلامة من العيوب التي توجب للمرأة الخيار في الزوج, كالبرص, و الجنون, والجذام, والثاني حق المرأة لا الولي.[39]
”Kafā`ah adalah persamaan pada dua urusan, pertama pada urusan agama (tadayyun), yaitu calon mempelai suami merupakan seorang muslim yang tidak fasik, yang kedua sejahtera dari segala keaiban-keaiban yang membolehkan perempuan untuk memilih fasakh, seperti lepra, gila, dan kusta dan yang kedua itu hak perempuan bukan hak wali”.
Dari uraian di atas dapat digambarkan bahwa kafā`ah dari arti bahasanya adalah serupa atau sama secara absolut baik itu dalam perkara pernikahan atau lain-lainnya. Dikatakan seseorang se-kufu dengan orang yang lain berarti seseorang itu sama dengan orang yang lain.
Sedangkan menurut terminologi fuqahā` mazhab al-Mālikī kafā`ah adalah persamaan antara calon mempelai suami dan isteri terkhusus dalam perkara pernikahan pada sifat-sifat yang tertentu.
Dengan melihat kedua sudut pengertian kafā`ah di atas dapat disimpulkan bahwa kafā`ah adalah persamaan antara calon mempelai suami dan isteri pada sifat-sifat yang tertentu.
2. Pengertian kafā`ah menurut fiqh al-Syāfi’iyyah
Sudah lumrah dalam dunia karya ilmiah bahwa setiap pembahasan mengenai sesuatu tentunya terlebih dahulu disinggung dengan menyebut pengertian sesuatu tersebut. Hal ini sebagaimana yang tercantum dalam sebuah kaedah yang berbunyi:
الحكم علي شيئ فرع عن تصوره.[40]
“Penyebutan hukum terhadap sesuatu merupakan cabang dari melogikakan seseuatu tersebut terlebih dahulu.
Maka penulis ingin memberikan pengertian tentang kafā`ah terlebih dahulu sebelum penulis membahas panjang lebar mengenai kafā`ah tersebut.
Kafā`ah secara etimologi mempunyai dua makna, yaitu:
1) التساوي, atinya: kesamaan.
2) التعادل, artinya: keseimbangan.[41]
Menurut istilah ulama mazhab al-Syāfi’ī kafā`ah adalah:
الكفاءة أمر يوجب عدمه عارا. وضابطها: مساوة للزوجة في كمال أو خسة ما عدا السلامة من عيوب النكاح.[42]
“Kafā`ah adalah suatu urusan yang dapat membawa kepada kecacatan jika ia tidak ada. Ketentuannya adalah persamaan seorang laki-laki mempelai suami dengan seorang perempuan mempelai isteri pada aspek kesempurnaan dan kekurangan selain terpelihara dari keaiban-keaiban nikah.
Dari uraian di atas dapat dijelaskan bahwa kafā`ah dari arti bahasanya adalah serupa atau seimbang secara absolut baik itu dalam perkara pernikahan atau lain-lainnya. Seorang se-kufu dengan orang yang lain berarti seseorang itu sama dengan orang yang lain.
Sedangkan menurut istilah ulama mazhab al-Syāfi’ī kafā`ah adalah persamaan antara calon mempelai suami dan isteri khususnya dalam perkara pernikahan pada aspek kesempurnaan atau kekurangan selain bebas dari keaiban-keaiban nikah. Persamaan keduanya pada aspek keaiban-keaiban nikah tidak memicu kepada persamaan (kafā`ah) yang dimaksudkan. Apabila kedua mempelai suami dan isteri mengalami suatu penyakit yang sama, misalnya lepra atau kusta maka terhadap keduanya berhak untuk menuntut fasakh. Hal seperti ini tidak disebutkan kafā`ah pada sama-sama memiliki keaiban, karena setiap manusia akan membenci suatu penyakit yang ada pada orang lain walaupun ia sendiri juga mengalami penyakit tersebut.[43]
Dengan melihat kedua sudut pengertian kafā`ah di atas dapat disimpulkan bahwa kafā`a hadalah persamaan antara calon mempelai laki-laki dan perempuan pada sifat-sifat yang tertentu.

E. Landasan Kafā`ah Menurut Fiqh Al-Mālikiyyah dan Al-Syāfi’iyyah
1. Landasan kafā`ah menurut fiqh al-Mālikiyyah
Menurut ulama al-Mālikiyyah, hal-hal yang menjadi dasar atas tuntutan kafā`ah dalam pernikahan adalah sebagai berikut:
1) Al-Qur`ān
Pertama: Surat al-Rūm ayat 21:
وَمِنْ اَيَاتِهِ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوْا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً اِنَّ فِي ذَلِكَ لَاَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُوْنَ .(الروم:٢١)
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.(Q.S. al-Rūm: 21)[44]
Kedua: Surat al-Hujarāt ayat13:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّاخَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوْبًا وَقَبَائِلَ لِتُعَارِفُوْا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ. (الحجرات: ۱۳)
”Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. al-Hujarāt: 13)[45]
Ketiga: Surat al-Hujarāt ayat 10:
اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ إِخْوَةٌ... (الحجرات: ۱٠)
“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara.(Q.S. al-Hujarāt: 10)[46]
Keempat: SuratĀli ‘Imrān ayat 195:
فَاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ أَنِّي لَاأُضِيْعَ عَمَلَ عَامِلٍ مِنْكُمْ مِنْ ذَكَرٍ اَوْأُنْثَى بَعْضِكُمْ مِنْ بَعْضٍ… (آل عمران: ۱٩٥)
“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain”.(Q.S. Āli ‘Imrān: 195)[47]
2) Hadis
Pertama: Hadis riwayat Abī Hātim:
إذا جاءكم من ترضون دينه وخلقه فأنكحوه، إلا تفعلوا تكن فتنة في الارض وفساد كبير. قالوا يا رسول الله, وان كان فيه؟ قال: إذا جاءكم من ترضون دينه وخلقه فأنكحوه ثلاث مرات.[48]
“Apabila datang kepadamu seseorang yang engkau rela agama dan akhlaknya maka nikahkanlah ia, jika kamu tidak melakukannya niscaya fitnah yang akan terjadi di bumi ini dan bencana yang besar. Para sahabat bertanya: walaupun padanya ada itu, yang diisyarahkan kepada kekurangan (aib)?, baik di segi kebudakan, harta dan keturunan. Rasullah SAW mengulangi hal itu tiga kali.(H.R. Abī Hātim)
Kedua:
الناس سواسية لا فضل لأحد علي أحد كاسنان المشط, لافضل لعربي علي عجمي, انما الفضل بالتقوي.[49]
“Manusia sama derajatnya bagaikan anak sisir, tidak ada kelebihan orang Arab atas orang ‘Ajam. Kelebihan itu hanya dengan taqwa.
Ketiga: Hadisriwayat Abū Hurairah RA:
إذا جاءكم من ترضون دينه وخلقه فزوجه، إلا تفعلوا تكن فتنة في الارض وفساد كبير.[50]
“Apabila datang kepadamu seseorang yang engkau rela agama dan akhlaknya maka nikahkanlah ia, jika kamu tidak melakukannya niscaya fitnah yang akan terjadi di bumi ini dan bencana yang besar.(H.R. Abū Hurairah RA)
Keempat: Hadis riwayat al-Baihaqī dari Abī Umamah:
ان الله أذهب عنكم نخوة الجاهلية وتكبرها بابائها. كلكم لادم و حواء كطف الصاع بالصاع, وان اكرمكم عند الله اتقاكم, فمن اتاكم ترضون دينه وامانته فزجوه.[51]
“Sesungguhnya Allah telah menghilangkan darimu kesombongan dan keangkuhan orang Jahiliyyah dengan bapak-bapak mereka. Tiap-tiap kamu bagi Adam dan Hawa bagaikan dekat takaran dengan takaran, dan sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Maka siapa saja yang datang kepadamu yang engkau rela agama dan kepercayaannya maka kawinkanlah ia.(H.R. al-Baihaqī)
Kelima: Abū Thaibah meminang seorang perempuan dari anak-anak Bayādhah, maka mereka enggan. Lalu Rasulullah SAW bersabda: menikahlah dengan Abū Thaibah, jika tidak maka akan terjadi fitnah dan bencana yang besar.
Keenam: Dalam satu riwayat yang lain, Rasulullah SAW bersbda: nikahilah Abū Hindi dan menikahlah dengannya. Abū Thaibah itu adalah pembekam Rasulullah SAW.
Ketujuh: Bilal meminang seorang wanita dari kaum Anshār, mereka enggan menerimanya. Lalu Rasulullah SAW bersabda: katakanlah pada mereka bahwa Rasulullah SAW menyuruh kalian untuk menikahinya.[52]
3) Perbuatan sahabat
Pertama: Al-Miqdād ibnal-Aswad menikahi seorang wanita keturunan Quraisy yang bernama Dhabā’ah ibnti Zubair. Padahal al-Miqdād tersebut bukan suku Quraisy, ia orang kindi.
Kabar autentik, Abū Huzaifah ibn ‘Atabah mengawinkan keponakan perempuannya, yaitu putri Walid ibn ‘Atabah dengan seorang laki-laki berinisial Sālim, padahal Sālim tersebut budak seorang wanita dari Anshār. Bilal ibn Rabah menikah dengan saudara perempuan ‘Abdurrahman ibn ‘Awf.[53]
4) Kaedah fiqh
والقاعدة أن كل عقد لا يحصل الحكمة التي شرع لأجلها لا يشرع.[54]
“Dan kaedahnya adalah tiap-tiap akad yang tidak dapat menghasilkan hikmah yang disyari’atkan akad karenanya maka akad tersebut tidak dibenarkan.
Dengan memperhatikan keseluruhan landasan di atas yang menjadi pijakan bagi ulama al-Mālikiyyah, maka jelaslah bahwa pertimbangan syara’ terhadap kafā`ah dalam pernikahan mempunyai landsan yang kuat dan kokoh menurut ulama ini.
2. Landasan kafā`ah menurut fiqh al-Syāfi’iyyah
Menurut ulama al-Syāfi’iyyaẖ, hal-hal yang menjadi dasar atas tuntutan kafā`ah dalam pernikahan adalah sebagai berikut:
1) Al-Qur`ān
Pertama: Surat al-Hasyr ayat 20:
لَا يَسْتَوِى اَصْحَابُ النَّارِ وَاَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمُ الْفَائِزُوْنَ. (الحشر:۲٠)
“Tidaklah sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni surga; penghuni-penghuni surga itulah orang-orang yang beruntung.(Q.S. al-Hasyr: 20)[55]
Kedua: Surat al-Nūr ayat: 3:
اَلزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ. (النور:۳)
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan wanita yang berzina, atau perempuan yang musyrik dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik.”(Q.S. al-Nur: 3)[56]
Ketiga: Surat al-Hujarāt ayat 13:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْإِنَّ اللهَ عَلِيْمُ خَبِيْرٌ. (الحجرات: ۱۳)
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.(Q.S. al-Hujarāt: 13)[57]
Keempat: Suratal-Sajadah ayat 18:
أَفَمَن ْكَانَ مُؤْمِنًا كَمَنْ كَانَ فَاسِقًا لَايَسْتَوُوْنَ. (السجدة: ۱۸)
“Maka apakah sama orang yang beriman seperti orang yang fasik (kafir)? Mereka tidak sama.(Q.S. al-Sajadah: 18)[58]
Kelima: Suratal-Nahl ayat 75:
ضَرَبَ اللهُ مَثَلًا عَبْدًا مَمْلُوْكًا لَا يَقْدُرُ عَلَي شَيْئٍ وَمَنْ رَزَقْنَاهُ مِنَّا رِزْقًا حَسَنًا فَهُوَ يُنْفِقُ مِنْهُ سِرًّا وَجَهْرًاهَلْ يَسْتَوُوْنَ الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ اَكثُرُهُمْ لَا يَعْلَمُوْنَ. (النحل: ە٧)
“Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun dan seorang yang kami beri rezeki yang baik dari kami, lalu dia menafkahkan sebagian dari rezeki itu secara sembunyi dan secara terang-terangan, Adakah mereka itu sama? segala puji Hanya bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tiada mengetahui. Maksud dari perumpamaan Ini ialah untuk membantah orang-orang musyrikin yang menyamakan Tuhan yang memberi rezeki dengan berhala-berhala yang tidak berdaya.(Q.S. al-Nahl: 75)[59]
Keenam: Suratal-Naẖl ayat 71:
وَاللهُ فَضَّلَ بَعْضَكُمْ عَلَي بَعْضٍ فِي الرِّزْقِ... (النحل: ٧۱)
“Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagianyang lain dalam hal rezeki.(Q.S. al-Naẖl: 71)[60]
2) Hadis
Pertama: Hadis riwayat al-Turmuzī dan al-Baihaqī:
إذا جاءكم من ترضون دينه وخلقه فأنكحوه، إلا تفعلوا تكن فتنة في الارض وفساد كبير.[61]
Apabila datang kepadamu seseorang yang engkau rela agama dan akhlaknya maka nikahkanlah ia, jika kamu tidak melakukannya niscaya fitnah yang akan terjadi di bumi ini dan kejahatan yang melebar. (H.R. al-Turmuzī dan al-Baihaqī)
Kedua: Hadis riwayat al-Nasā`ī:
اني بريء من كل مؤمن مع مشرك.[62]
“Sesungguhnya Aku terlepas diri dari orang Islam beserta orang syirik.(H.R. al-Nasā`ī)
Ketiga: Hadis riwayat Abū Hurairah:
تنكح المرأة لأربع : لمالها ولحسبها ولجمالها ولدينها.[63]
“Menikahi perempuan karena empat macam; hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya.(H.R. Abū Hurairah)
Keempat:
نحن قريش خير العرب وموالينا خير الموالي.[64]
“Kami orang Quraisy, orang Quraisy adalah sebaik-baik orang Arab, dan tuan-tuan kami sebaik-baik tuan.
Kelima: Hadisriwayat al-Baihaqī:
قدموا قريشا ولا تتقدموها.[65]
“Utamakan orang Quraisy dan jangan kalian mendahului mereka. (H.R. al-Baihaqī)
Keenam:
ان الله عز وجل اختار العرب من سائر الامام, واختار من العرب قريشا, واختار من قريش بني هاشم وبني عبد المطلب.[66]
“Sesungguhnya Allah memilih bangsa Arang dari seluruh ummat, dan memilih suku Quraisy dari bangsa Arab, dan memilih anak-anak Hāsyim dan Muthallib dari suku Quraisy.
Ketujuh:
إن بنى هاشم وبنى عبد المطلب شئ واحد.[67]
”Sesungguhnya keturunan Hāsyim dan keturunan Muthallib adalah sesuatu yang satu.
Kedelapan: Hadis riwayat al-Imām Muslim:
إن الله اصطفى كنانة من ولد اسماعيل واصطفى من كنانه قريشا، واصطفى من قريش بنى هاشم واصطفانى من بنى هاشم.[68]
“Sesungguhnya Allah memilih Kinanah dari keturunan Ismāīl, dan memilih Quraisy dari keturunan Kinanah dan memilih keturunan Hāsyim dari Quraisy dan memilih aku dari katurunan Hasyim.(H. R. al-Imām Muslim)
Kesembilan: Perkataan Salmān al-Farisī:
يا معشر العرب انما نفضلكم لفضل رسول الله ولا ننكح نساءكملا نتقدمكمفي الصلاة.[69]
“Wahai kaum Arab! Kami lebihkan kalian karena kelebihan Rasulullah SAW, tidak kami menikahi perempuan-perempuan kalian dan tidak kami mendahului diri kami dari kalian dalam sembahyang.
Kesepuluh: Hadis shahīh riwayat Ashhāb al-Sunan dan Ahmad ibn Hanbal:
المؤمنون تتكافأ دماؤهم, ويسعي بذمتهم أدناهم.[70]
“Orang-orang mukmin sepadanlah darah mereka, dan tetap dalam tanggungan mereka bagi orang yang rendah martabat.(H.R. Ashhāb al-Sunan dan Ahmad ibn Hanbal)
Kesebelas: Pada masa Rasulullah SAW ada seorang wanita pada yang bernama Barīrah, ia seorang budak yang menikah dengan seorang laki-laki yang sama status dengannya (budak). Tatkala Barīrah tersebut merdeka ia melapor kepada Rasulullah, kemudian beliau memberikan hak pilihan baginya untuk meneruskan hubungan nikah atau memilih fasakh.[71]
Kedua belas: Hadisriwayat Hākim:
العرب بعضهم اكفاء لبعض, حي لحي, وقبيلة لقبيلة, ورجل لرجل الا الحائك والحجام.[72]
“Orang Arab sepadan dengan sesamanya, qabilah dengan qabilah, laki-laki dengan laki-laki kecuali penenun dan pembekam.(H.R. Hākim)
Ketiga belas: Hadis riwayat ibn Majah:
تخيروا لنطفكم وانكحوا الأكفاءوانكحوا اليهم.[73]
“Hendaklah kamu memilih perempuan yang lebih baik sebagai tempat menyimpan sepermamu, dan menikahlahdengan perempuan yang ada kesamaan denganmu, dan menikahlah kepada mereka.(H.R. Ibn Majah)
3) Al-Qiyās al-Aulawī
4) Kaedah fiqh
العادة محكمة مالم تخالف الشرع.[74]
“Suatu kebiasaan dapat berpotensi sebagai hukum selama tidak bertentangan dengan ketentuan syara’.
5) Kaedah ushūl fiqh
Pertama:
تخصيص الشيئ بالذكر لايدل علي نفي ما عداه.[75]
“Penyebutan sesuatu secara khusus tidak mengindikasi kepada meniadakan yang lain.
Kedua: Kaedahal-jam’u waal-taufīq:
Dengan memperhatikan keseluruhan landasan di atas yang menjadi pijakan bagi ulama al-Syāfi’iyyah maka jelaslah bahwa pertimbangan syara’ terhadap kafā`ah dalam pernikahan mempunyai landsan yang kuat dan kokoh menurut ulama ini.

[1]Armia Mahmud, Konsep Kafā`ah dalam Perkawinan Menurut al-Imām al-Nawawī dan al-Zuhailī,Skripsi pada Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Aziziyah, 2011, h. 63, tidak diterbitkan.
[2]Muhammad ‘Abd al-Ghanīal-Bajiqnī,Al-Wajīz al-Muyassir fī Ushūl al-Fiqh al-Mālikī, Jld. I, Cet. III, (t.tp, t.p, 2005), h. 2-3.
[3]Ibrāhīm al-Bajūrī, Hāsyiyatal-Bajūrī ‘alā Ibn Qāsim al-Ghāzī,Jld. I, (Semarang: Toha Putra, t.t), h. 3.
[4]Muhammad Ma’shūm Zein, Arus Pemikiran Empat Mazhab (Studi Analisis Istinbāth Fuqahā`), Cet. I, (Jombang, JATIM: Dār al-Hikmah, 2008), h. 140.
[5]Ma’shum Zein, Arus Pemikiran Empat Mazhab…, h. 140.
[6]http://kolom-biografi.blogspot.com/2009/01/biografi-imam-mal.diakses 26 Agustus 2012.
[7]http://kolom-biografi.blogspot.com/2009/01/biografi-imam-mal.diakses 26 Agustus 2012.
[8]Siradjudin Abbas, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syāfi‘ī, Cet. XIV, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 2006), h.70.
[9]http://kolom-biografi.blogspot.com/2009/01/biografi-imam-mal.diakses 26 Agustus 2012.
[10]Siradjudin, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syāfi’ī…, h.70.
[11]http://kolom-biografi.blogspot.com/2009/01/biografi-imam-mal.diakses 26 Agustus 2012.
[12]Siradjudin, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syāfi’ī..., h.70.
[13]Siradjudin, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syāfi’ī…, h. 70.
[14]http://kolom-biografi.blogspot.com/2009/01/biografi-imam-mal. diakses 26 Agustus 2012
[15]http://ulamasunnah.wordpress.com/2008/02/04/biografi-al-imam. diakses 26 Agustus 2012
[16]http://ulamasunnah.wordpress.com/2008/02/04/biografi-al-imam. diakses 26 Agustus 2012
[17]Ma’shum Zein, Arus Pemikiran Empat Mazhab…, h. 145-149.
[18]Zakariyyāal-Anshārī,Ghāyatal-Wushūl-Syarẖ al-Ushūl, (Singapura: al-Haramain, t.t), h. 5.
[19]Jalāl al-Dīn Muhammad ibn Ahmadal-Maẖallī,Al-Nafaẖāt 'alā Syarẖal-Waraqāt, (Singapura: a-Haramain, t.t),h. 16.
[20]‘Abd al-Hamīd ibn Muhammad, Syarẖ Lathāif al-Isyārah, (Singapura: al-Haramain, t.t), h. 8.
[21]Ibrāhīm al-Bajūrī,Hāsyiyatal-Bajūrī…, h. 3.
[22]Moh. Zadittaqwa dkk, Jendela Mazhab, (Kediri: Lirboyo Press, 2011), h. 1.
[23]Siradjudin, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syāfi’ī..., h. 19.
[24] Siradjudin, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syāfi’ī..., h. 19.
[25]Siradjudin, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syāfi’ī..., h. 153.
[26]Siradjudin, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syāfi’ī ..., h. 153.
[27]Siradjudin, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syāfi’ī..., h. 70.
[28]Siradjudin, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syāfi’ī..., h. 42.
[29]Siradjudin, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syāfi’ī..., h. 42.
[30]Ma’shum Zein, Arus Pemikiran Empat Mazhab…, h. 145-149.
[31]Siradjudin, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syāfi’ī..., h. 70.

[32]Siradjudin, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syāfi’ī..., h. 237.

[33]Tajul Alam Safiyatuddin Syah, Risālat Masāil al-Muhtadīn līIkhwān al-Muhtadīn, (Medan: sumber Ilmu Jaya, t.t), h. 9.
[34]Zadittaqwa dkk, Jendela Mazhab…, h. 4.

[35]Nurchalish Madjid, Risālatal-Imām al-Syāfi’ī,(Jakarta: Pustaka firdaus, 2004), h. 9.

[36]Siradjudin, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syāfi’ī..., h. 237.

[37]Al-Qurāfī, Ahmad ibn Idrīs,Al-Dzakhīrah, Jld. IV, (Beirut: Dār al-Gharabī, 1994), h. 211.

[38]Muhammad ibn Yūsuf, Al-Tāj wa al-Iklīl,Jld. III, (Beirut: Dār al-Fikr, 1398), h. 460.
[39]Al-Qurāfī,Al-Dzakhīrah…, h. 47-48.
[40]Muhammad Khathīb al-Syarbīnī, Mughnīal-Muẖtāj ‘alā Ma’rifat Alfāzh al-Minhāj, Jld. II, Cet. I, (Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah,2006), h. 363.
[41]Muhammad Syathā, HāsyiyatI’ānatal-Thālibīn, Jld. III, (Singapura: al-Haramain, t.t), h. 330.
[42]‘Abdurrahman ibn Muhammad Husain, Bughyat al-Mustarsyidīn, Jld. IV, (al-Azhar: Dār al-Bayān al-‘Arabī, t.t), h. 48.
[43]Abdurrahman, Bughyatal-Mustarsyidīn…, h. 330.
[44]Depertemen Agama RI, Al-Qur`ān dan Terjemahnya, (Bandung: Diponegoro, 2003), h. 234.
[45]Depertemen Agama RI, Al-Qur`ān dan Terjemahnya,...,h. 847.
[46]Depertemen Agama RI, Al-Qur`ān dan Terjemahnya…, h. 846.
[47]Depertemen Agama RI, Al-Qur’ān dan Terjemahnya…, h. 110.
[48]Al-Baghwī, Husain ibn Mas’ūd, Syarh al-Sunan Li-al-Imām al-Baghwī, Jld. X, Cet. II (Beirut: al-Maktab al-Islamī, 1983), h. 10.
[49]Ibrāhīm ibn ‘Alī, Takmilat al-Majmū’ Syarẖ al-Muhadzdzab, Jld. XIX, Cet. I, (Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, 2007),h. 193.
[50]Al-Qurthubī, Yūsuf ibn ‘Abdillah, Al-Tamhīd li-Mā fī al-Muwaththa`Min al-Ma’ānī wa al-Asānīd, Jld. XIX, (Madinah: Muassasah al-Qurthubah, t.t), h. 165.
[51]Ibrāhīm, Takmilat al-Majmū’…, h. 193.
[52]Ibrāhīm, Takmilat al-Majmū’…, h. 194.
[53]Badr al-Dīn al-‘Ainī, ‘Umdat al-Qārī Syarẖ Shaẖīẖ al-Bukharī, Jld. XXIX, (Maktabah Syamilah Ishdar 3.8 v. 10600 ,2008), h. 223.
[54]Al-Qurāfī, Al-Dzakhīrah..., h. 212.
[55]Depertemen Agama RI, Al-Qur’ān dan Terjemahnya…, h. 437.
[56]Depertemen Agama RI, Al-Qur’ān dan Terjemahnya..., h. 543.
[57]Depertemen Agama RI, Al-Qur’ān dan Terjemahnya,...,h. 845.
[58]Depertemen Agama RI, Al-Qur’ān dan Terjemahnya…, h. 662.
[59]Depertemen Agama RI, Al-Qur’ān dan Terjemahnya,...,h. 220.
[60]Depertemen Agama RI, Al-Qur’ān dan Terjemahnya...,h. 219.
[61]‘Abdurrahman ibn Abī Bakr, Al-Dar al-Mantsūr fī al-Ta`wīl Bī al-Ma`tsūr, Jld II, (Maktabah Syamilah Ishdar 3.8 v. 10600, 2009), h. 19.
[62]Al-Māwaridī, Al-Hāwī al-Kabīr…, h. 141.
[63]Ibn Hajar al-‘Asqalānī, Ahmad ibn ‘AlīibnHajar, Fathal- Barī, Jld. V (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1379), h. 135.
[64]Ibrāhīm, Takmilatal-Majmū’…, h. 188.
[65]Ibn Hajar al-‘Asqalānī, Fathal- Barī…, h. 118.
[66]Ibrāhīm, Takmilat al-Majmū’…, h. 188.
[67]Muhammad Syams al-Ma’būd, ‘Aunal-Ma’būd fī Syarẖ Sunan Abī Dāud, Jld. V, Cet. II , (Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, 1415 H), h. 47.
[68]Ibn Hajar al-‘Asqalānī,Fath al-Bārī..., h. 293.
[69]Ibrāhīm, Takmilat al-Majmū’…, h. 188.
[70]Al-Māwaridī, Al-Hāwī al-Kabīr…, h. 145.
[71]Ibrāhīm, Takmilat al-Majmū’…, h. 190.
[72]Ibrāhīm, Takmilat al-Majmū’…, h. 190.
[73]Muhammad ibn ‘Abd al-Hād, Hāsyiyat al-Sanadī, Jld. IV,(Maktabah Syamilah Ishdar 3.8 v. 10600, 2009), h. 215.
[74]Al-Suyūthī, ‘Abdurrahman ibn Abī Bakr, Al-Asybāh wa al-Nadhāīr, Cet. I, (Semarang: al-Haramain, t.t), h. 66.
[75]Ibrāhīm, Takmilat al-Majmū’…, h. 194.

Ketua Rabithah Thaliban Banda Aceh : Pelaku Prostitusi Online Wajib Dicambuk

Banda Aceh, 07 April 2018 Ketua Rabithah Thaliban (Ikatan Santri Dayah Kota Banda Aceh) Abi Ismail M Husen menekan pihak yang berw...