LANDASAN KAFAAH MENURUT FIQH MALIKIYAH DAN SYAFIYAH
Sejarah Perkembangan Fiqh Al-Mālikiyyah
1. Pengertian fiqhal-Mālikiyyah
Fiqh secara etimologi adalah pemahaman tentang sesuatu secara absolut. Fiqh ditinjau menurut terminologi fuqahā` al-Mālikiyyah adalah:
الفقه فهوالعلم بالأحكام الشرعية المكتسب من أدلتها التفصيلية.[2]
“Fiqh adalah pengetahuan terhadap hukum-hukum syari’at yang diperoleh melalui dalil-dalilnya yang terperinci.
Al-Mālikiyyah (المالكية), asal kata dari مالك, yang artinya adalah seseorang yang diberikan nama Mālik yaitu kakek al-ImāmMālik, kemudian ditambahkan ya nisbah untuk digunakan pada seorang ulama pendiri mazhab yang bernamaal-ImāmMālik ibn Anas yang dibangsakan kepada kakeknya Mālik, kemudian ditambahkan ta marbūthah diujungnya untuk menguatkan bangsaan.
Namun, yang dimaksud dengan al-Mālikiyyah di sini adalah ulama-ulama yang menganut mazhab al-Mālikī.Kalimat al-Mālikiyyah dilihat dari sisi penisbatan sama persis dengan kalimat al-Syāfi’iyyah.Penulis tidak menemukan referensikhususuntuk kalimat al-Mālikiyyah, namun bisadilihat perbandingannya pada kalimat al-Syāfi’iyyah.[3]
Dengan melihat kedua pengertian di atas (fiqh dan al-Mālikiyyah), maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan fiqh al-Mālikiyyah adalahpengetahuan fuqahā` mazhab al-Mālikī terhadap hukum-hukum syari'at yang diperoleh melalui dali-dali yang terperinci.
2. Biografi al-ImāmMālik
Berkaitan dengan ulama besar al-Imām Mālik sebagai ulama yang terkenal dengan popularitas dan keahliannya di bidang ilmu pengetahuan agama Islam yang berlautan luas dalam kacamata ummat Islam di dunia ini, dapat digambarkan dengan sebuah gambaran tentang bagaimana al-Imām Mālik menempuh pengembaraan intelektualnya sehingga beliau menjadi seorang ulama yang mempunyai skil khusus dalam bidang hukum Islam.[4]
Dahulu kala tepatnya tahun 93 H. di kota Madinah lahir seorang anak yang di kemudian hari dikenal dengan sebutan al-Imām Mālik. Kuniyah beliau Abū ‘Abdillah, yang bernama lengkap Mālik ibn Anas ibn Mālik ibn Abī‘Āmir al-Ashbahī al-‘Arabī al-Yamniyyah. Ayah al-Imām Mālik, Anas adalah salah seorang ulama besar dari kalangan Tābi’īn. Ibu al-Imām Mālik bernama ‘Aisyah ibnti Syarīk al-Azdiyyah.
Paman-paman al-Imām Mālik bernama Abū Suhail Nāfi’, Uwais, al-Rabī’, al-Nadhar, semuanya putra Abū ‘Āmir. Al-Imām Mālik lahir di Madinah pada tahun 712 Mdan wafat pada tahun 789 M.[5]
Al-Imām Mālikberasal dari keluarga Arab terhormat. Tanah asal leluhurnya adalah Yaman, namun setelah nenek moyangnya menganut Islam, mereka pindah ke Madinah. Kakeknya, Abū ‘Āmir, adalah anggota keluarga pertama yang memeluk agama Islam pada tahun 2 H. Saat itu, Madinah adalah kota ilmu yang sangat terkenal. Kakek dan ayahnya termasuk kelompok ulama hadis terpandang di Madinah. Karenanya, sejak kecil al-Imām Mālik tidak berniat meninggalkan Madinah untuk mencari ilmu.[6]
Karena keluarganya ulama ahli hadis, maka al-Imām Mālik pun menekuni pelajaran hadis kepada ayah dan paman-pamannya. Kendati demikian, ia pernah berguru pada ulama-ulama terkenal seperti Nāfi’ ibn Abī Nu’aim ibnSyihāb al-Zuhrī, Abū al-Zinād, Hāsyim ibn Urwa, Yahya ibnSa’īd al-Anshārī, dan Muhammad ibn Munkadir.[7]
Dalam usia muda, al-Imām Mālik telah menguasai banyak ilmu. Kecintaannya kepada ilmu menjadikan hampir seluruh hidupnya diabadikan dalam dunia pendidikan. Tidak kurang empat khalifah, mulai dari al-Mansur, al-Mahdi, Hadi Harun dan al-Ma’mun pernah menjadi murid al-Imām Mālik. Ulama besar, al-Imām Abū Hanīfah dan al-Imāmal-Syāfi’ī juga pernah menimba ilmu dari al-Imām Mālik. Belum lagi ilmuwan dan para ahli lainnya. Menurut sebuah riwayat disebutkan murid terkenal al-Imām Mālikmencapai 1.300 orang.[8]
Murid-murid al-Imām Mālik banyak sekali. Di antara mereka yang sangat terkenal adalah Ishāq ibn‘Abadullah ibn Abū Thalhah, Ayyub ibn Abū Tamīmah al-Sakhtiyanī, Ayyub ibn Habīb al-Juhanī, Ibrāhīm ibn ‘Uqbah, Ismāīl ibn Abī Hakim, Ismāīl ibn Muhammad ibn Sa’addan al-Imām al-Syāfi’ī.[9]
Sahabat-sahabat al-Imām Mālik di antaranya adalah Ma’maribn Juraij, Abū Hanīfah, ‘Amr ibn al-Hārits, al-Auza’ī, Syu’bah, al-Tsaurī, Juwairiyyah ibn Asmā’, al-Laits, Hammad ibn Zaid.[10]
Al-Imām Mālik mempunyai karya yang besar di bidang hadis, yaitu kitab al-Muwattha`, karya beliau lainnya adalah Risālat fī al-Qadar, Risālat fī al-Aqdhiyyah dan satu juz tentang tafsir. Di samping karya-karya beliau lainnya yang tidak disebutkan di sini.[11]
3. Perkembanganmazhab al-Mālikī
Mazhab adalah bashasa Arab yang artinya jalan yang dilalui. Tetapi dalam istilah syari’at Islam berarti fatwa-fatwa atau pendapat seorang imam mujtahid.[12]
Berdasarkan definisi di atas, maka mazhab al-Mālikī adalah fatwa-fatwa al-Imām Mālik ibn Anas dan sahabat-sahabatnya.
Dari al-Muwatta' hingga mazhab al-Mālikī. Al-Muwatta' adalah kitab fiqh berdasarkan himpunan hadis-hadis pilihan. Ia menjadi rujukan penting, khususnya di kalangan pesantren dan ulama kontemporer. Ia disusun berdasarkan klasifikasi fiqh dengan memperinci kaedah fiqh yang diambil dari hadis dan fatwa sahabat.[13]
Menurut beberapa riwayat, sesungguhnya al-Muwatta' tak akan lahir bila al-Imām Mālik tidak dipaksa Khalifah al-Mansur. Setelah penolakan untuk ke Baghdad, Khalifah al-Mansur meminta al-Imām Mālik mengumpulkan hadis dan membukukannya. Awalnya, al-Imām Mālik enggan melakukan itu. Namun, karena dipandang tak ada salahnya melakukan hal tersebut, akhirnya lahirlah al-Muwatta'. Ditulis di masa al-Mansur (754-775 M) dan baru selesai di masa al-Mahdi (775-785 M).[14]
Menurut Syah Waliyullah, kitab ini merupakan himpunan hadis paling shahīh dan terpilih. Al-Imām Mālik memang menekankan betul terujinya para perawi. Semula, kitab ini memuat 10 ribu hadis. Namun, lewat penelitian ulang, al-Imām Mālik hanya memasukkan 1.720 hadis. Selain al-Muwatta',al-Imām Mālik juga menyusun kitab al-Mudawwanah al-Kubrā, yang berisi fatwa-fatwa dan jawaban al-Imām Mālik atas berbagai persoalan. Al-Imām Mālik tidak hanya meninggalkan warisan buku. Ia juga mewariskan mazhab fiqh di kalangan Islam Sunnī, yang disebut sebagai umat al-Mālikī.[15]
Sumber hukum yang dikembangkan dalam mazhab al-Mālikī di antaranya adalah:
a. Al-Qur`ān
b. Hadis
c. Ijmā’
d. Qiyās (analogi)
e. Perkataan dan amalan sahabat
f. Tradisi masyarakat Madinah (amal ahl al-Madinah)
g. Al-Mashlahat al-Mursalah (kemaslahatan yang tidak didukung atau dilarang oleh dalil tertentu).[16]
h. Al-Istiẖsan
i. Memelihara khilaf (murā’at al-Khilāf)
j. Mafhūm Muwāfaqah
k. Syar’u Man Qablanā.[17]
Mazhab al-Mālikī pernah menjadi mazhab resmi di Mekah, Madinah, Irak, Mesir, al-jazair, Tunisia, Andalusia (kini Spanyol), Marokko, dan Sudan. Kecuali di tiga negara yang disebut terakhir, jumlah pengikut mazhab al-Mālikī kini menyusut. Mayoritas penduduk Mekah dan Madinah saat ini mengikuti mazhab al-Hanbalī. Di Iran dan Mesir, jumlah pengikut mazhab al-Mālikī juga tidak banyak. Hanya Marokko saat ini satu-satunya negara yang secara resmi menganut mazhab al-Mālikī.
C. Sejarah Perkembangan Fiqh Al-Syāfi’iyyah
1. Pengertian fiqhal-Syāfi’iyyah
Dalam hal ini pengertian fiqh yang ada di sini sama persis dengan pengertian fiqh yang telah penulis sebutkan sebelumnya, namun demikian perlu penulis tegaskan bahwa di sini terdapat perbedaan pandangan ulama al-Syāfi’iyyah tentang pengertian fiqh menurut terminologi sebagaimana uraian berikut ini:
Syaikh al-Islam Zakariyyā al-Anshārī dalam kitabnya ”Ghayat al-Wushūl” menyinggung sedikit mengenai definisi fiqh dengan redaksi berikut ini:
علم بحكم شرعي عملي مكتسب من دليل تفصيلي.[18]
”Pengetahuan terhadap hukum syara’ yang bersifat amaliah dan diperoleh daril-dalinya yang terperinci”
Sedangkan menurut Jalāl al-Dīn Muhammad ibn Ahmadal-Mahallī fiqh adalah:
[19]الاحكام الشرعية التى طريقها الاجتهاد.
“Hukum syara’ yang berlandaskan ijtihad”.
Dalam hal ini penulis memilih pengertian fiqh yang disampaikan oleh Syaikh al-Islam Zakariyyā al-Anshārī karena mendapat banyak dukungan redaksi kitab lain, seperti Syarh Lathāif al-Isyārah.[20]
Al-Syāfi’iyyah (الشافعية), asal kata dari شافع, yang artinya seseorang yang dinamakan dengan Syāfi’ yaitu kakek al-Imām al-Syāfi’ī, kemudian ditambahkan ya nisbah sehingga berubah artinya menjadi seorang mujtahid muthlāq yang bernama Muhammad ibn Idrīs yang dibangsakan kepada kakeknya Syāfi’. Kemudian diiringi ta marbūthah diujungnya untuk menguatkan bangsaan. Namun, yang dimaksud dengan al-Syāfi’iyyah di sini adalah ulama-ulama yang menganut mazhab al-Imām al-Syāfi’ī.[21]
Dengan melihat kedua pengertian tersebut (fiqh dan al-Syāfi’iyyah), maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan fiqh al-Syāfi’iyyah adalah pengetahuan fuqahā` mazhab al-Syāfi’ī terhadap hukum-hukum syari'at yang diperoleh melalui dali-dali yang terperinci.
2. Biografi al-Imām al-Syāfi’ī
Berkenaan dengan sosok al-Imāmal-Syāfi’ī sebagai ulama yang sangat populer dan karismatik dalam pandangan umat Islam di dunia pada umumnya dan di Indonesia pada kusunya, dapat diberikan sebuah gambaran tentang bagaimana beliau menjalani pengembaraan intelektualnya hingga menjadi pakar dalam bidang hukum Islam, yang banyak belajar pada ulama-ulama terkemuka pada masa di mana ia hidup.
Nama lengkap al-Imām al-Syāfi’ī adalah Abū‘Abdillah Muhammad ibnIdrīs ibn al-‘Abbās ibn‘Utsmān ibn Syāfi’ibnal-Sā`ib ibn ‘Ubaid ibn ‘Abd al-Yazīd ibn Hāsyim ibn ‘Abd al-Muthallib ibn‘Abd al-Manāf. Al-Imāmal-Syāfi’ī lahir pada tahun 150 H tepat pada pertengahan abad ke II Hijriyah di tanah Gazza, sebuah wilayah ‘Asqalān yang letaknya dekat dengan pantai lautan putih (lautan mati) sebelah tengah Palestina (Syam), dan wafat di mesir pada tahun 204 H.[22]
Sudah menjadi kelaziman di kalangan mayoritas umat manusia, yang bahwa di mana tempat kelahiran maka di situ pula menjadi kampung halaman, tapi sebalik dengan al-Imām al-Syāfi’ī. Kampung halaman al-Imām al-Syāfi’ī RHL adalah bukan di Gazza (Palestina), tetapi di Mekah (Hijaz). Hanya saja ibu-bapak beliau datang ke Gazza untuk suatu keperluan, dan al-Imām al-Syāfi’ī ditakdirkan lahir di Gazza.[23]
Al-Imām al-Syāfi’ī mempelajari ilmu tafsir, fiqh dan hadis pada guru-gurunya yang banyak, yang negerinya di antara satu dengan yang lain berjauhan. Guru-guru al-Imām al-Syāfi’ī yang masyhur di antara lain di Mekah; Muslim ibn Khālid al-Zanjī, Ismāīl ibn Qusthantein, Sufyān ibn Ujainah, Sa’ad ibn Abī Sālim al-Qaddah, Dāud ibn‘Abdurrahman al-Athar, ‘Abd al-lhamīd ibn‘Abdal-Azīz.[24]
Di Madinah; al-Imām Mālik ibn Anas, Ibrāhīm ibn Mas’ūd al-Anshārī, ‘Abdal-Azīz ibn Muhammad al-Darurdī, Ibrāhīm ibn Abī Yahya al-Asāmī, Muhammad ibn Sa’ad, ‘Abdullah ibn Nāfi’.[25]Di Yaman: Mathrar ibn Mazir, Hisyām ibn Abī Yusuf, ‘Umar ibn Abī Salāmah (pembangun mazhab al-Auza’ī, dan Yahya ibn Hasan (pembangun mazhab Laits). Di Iraq; Wakī’ ibn Jarrah, Humad ibnUsamah, Ismāīl ibn ‘Ulyah, ‘Abd al-Wahhāb ibn ‘Abd al-Majīd, Muhammad ibn Hasan, Qādhi ibnYūsuf.[26]
2. Perkembangan mazhab al-Syāfi’ī
Sebagaimana yang telah penulis sebutkan sebelumnya, bahwa pengertian mazhab dalam istilah syari’at Islam berarti fatwa-fatwa atau pendapat seorang imam mujtahid.[27]Berdasarkan definisi tersebut, maka mazhab al-Syāfi’ī adalah fatwa-fatwa Muhammad ibn Idrīs dan sahabat-sahabatnya.
Setelah al-Imām al-Syāfi’ī memiliki ilmu yang sangat tinggi dan pemahaman yang begitu dalam dan tajam, timbullah inspirasinya untuk berfatwa sendiri mengeluarkan hukum-hukum dari al-Qur`ān dan hadis sesuai dengan ijtihādnya sendiri, terlepas dari fatwa-fatwa gurunya al-Imām Mālik dan ulama-ulama al-Hanafīyyah di Iraq.[28]
Hal ini terjadi pada tahun 198 H, yaitu sesudah al-Imām al-Syāfi’ī berusia 47 tahun dan setelah melalui masa belajar lebih kurang 40 tahun.
Al-Imām al-Syāfi’ī telah menghafalal-Qur`ān dan berpuluh ribu hadis di luar kepala dan juga telah mendalami tafsir dari ayat al-Qur`ān dan makna hadis-hadis serta pendapat-pendapat ulama yang terdahulu. Al-Imām al-Syāfi’ī berfatwa dengan lisan menurut ijtihadnya (pendapat) dan juga mengarang kitab-kitab yang berisikan pendapatnya itu.[29]
Sumber hukum yang dikembangkan dalam mazhab al-Syāfi’ī adalah:
a. Al-Qur`ān
b. Hadis
c. Ijmā’
d. Qiyās (analogi)
e. Al-Istisẖāb.[30]
Mazhab ini mulanya tumbuh di Iraq dan Mesir, kemudian tersiar luas di Iraq, Mesir, Khurasan, Yaman, Oman, Sudan, Somali, Syiria, Palestina, Philipina dll.[31]Diantara semua aliran mazhab yang pernah muncul dalam Islam, hanya empat mazhab yang telah disepakati kesahihannya oleh manyoritas umat Islam, bahkan menurut Tajul Alam Safiyatuddin Syah (Raja Aceh) yang berkuasa dari tahun 1641 Msampai 1675 M).[32] Al-Imām al-Syāfi’ī mengutarakan dalam karyanya, Risalat Masāil al-Muhtadīn lī Ikhwān al-Muhtadīn yang sangat populer pada madrasah ibtidaiyah di Tanah Rincong (Aceh) yaitu, termasuk salah satu fardhu dan kesempurnaan iman mengikut ijmā’segala sahabat yang empat dan imam yang empat yaitu al-Imām al-Syāfi’ī,al-Imām Abū Hanīfah, al-Imām Mālikdan al-Imām Ahmad ibn Hanbal.[33]
Dalam sejarah perjalanan, mazhab al-Syāfi’ī telah melalui beberapa periode. Pertama, periode persiapan dan pembentukan. Kedua, masa kelahiran mazhab al-Qadīm. Ketiga, pematangan dan penyempurnaan mazhab al-Qadīm. Keempat, penafsiran dan pengembangan mazhab.Kelima, kemapanan mazhab.[34]
Boleh dikatakan bahwa bangsa Indonesia adalah penganut mazhab al-Syāfi’ī dengan jumlah kapasitas yang sangat besar.[35]Mazhab al-Syāfi’ī adalah sebuah mazhab yang didirikan oleh Muhammad ibn Idrīs al-Syāfi’ī (ulama abad ke dua Hijriyah). Dalam mazhabnya memiliki dua pendapat yang berbeda, pendapat beliau yang lama yaitu ketika beliau berdomisili di Iraq, disebut al-Qaul al-Qadīm, dan ada pula pendapat beliau yang baru setelah kepindahan beliau ke Mesir, disebut al-Qaul al-Jadīd, selain itu di antara ulama mazhab al-Syāfi’ī juga terdapat perbedaan pendapat dalam memecahkan ranting fiqh.[36]
D. Pengertian Kafā`ah Menurut Fiqh Al-Mālikiyyah dan Al-Syāfi’iyyah
1. Pengertian kafā`ah menurut fiqh al-Mālikiyyah
Secara etimologi kafā`ah berasal dari kata كفوء, artinya serupa.[37]
Ibn ‘Arafah dalam kitab al-Tāj wa al-Iklīl menyebutkan pengertian kafā`ah yaitu:
الكفاءة المماثلة والمقاربة.[38]
“Kafā`ah adalah persamaan dan pendekatan”
Namun menurut terminologi fuqahā` mazhab al-Mālikī kafā`ah adalah:
الكفاءة في النكاح المماثلة في أمرين: أحدهما: التدين بان يكون مسلما غير فاسق, ثانيهما, السلامة من العيوب التي توجب للمرأة الخيار في الزوج, كالبرص, و الجنون, والجذام, والثاني حق المرأة لا الولي.[39]
”Kafā`ah adalah persamaan pada dua urusan, pertama pada urusan agama (tadayyun), yaitu calon mempelai suami merupakan seorang muslim yang tidak fasik, yang kedua sejahtera dari segala keaiban-keaiban yang membolehkan perempuan untuk memilih fasakh, seperti lepra, gila, dan kusta dan yang kedua itu hak perempuan bukan hak wali”.
Dari uraian di atas dapat digambarkan bahwa kafā`ah dari arti bahasanya adalah serupa atau sama secara absolut baik itu dalam perkara pernikahan atau lain-lainnya. Dikatakan seseorang se-kufu dengan orang yang lain berarti seseorang itu sama dengan orang yang lain.
Sedangkan menurut terminologi fuqahā` mazhab al-Mālikī kafā`ah adalah persamaan antara calon mempelai suami dan isteri terkhusus dalam perkara pernikahan pada sifat-sifat yang tertentu.
Dengan melihat kedua sudut pengertian kafā`ah di atas dapat disimpulkan bahwa kafā`ah adalah persamaan antara calon mempelai suami dan isteri pada sifat-sifat yang tertentu.
2. Pengertian kafā`ah menurut fiqh al-Syāfi’iyyah
Sudah lumrah dalam dunia karya ilmiah bahwa setiap pembahasan mengenai sesuatu tentunya terlebih dahulu disinggung dengan menyebut pengertian sesuatu tersebut. Hal ini sebagaimana yang tercantum dalam sebuah kaedah yang berbunyi:
الحكم علي شيئ فرع عن تصوره.[40]
“Penyebutan hukum terhadap sesuatu merupakan cabang dari melogikakan seseuatu tersebut terlebih dahulu.
Maka penulis ingin memberikan pengertian tentang kafā`ah terlebih dahulu sebelum penulis membahas panjang lebar mengenai kafā`ah tersebut.
Kafā`ah secara etimologi mempunyai dua makna, yaitu:
1) التساوي, atinya: kesamaan.
2) التعادل, artinya: keseimbangan.[41]
Menurut istilah ulama mazhab al-Syāfi’ī kafā`ah adalah:
الكفاءة أمر يوجب عدمه عارا. وضابطها: مساوة للزوجة في كمال أو خسة ما عدا السلامة من عيوب النكاح.[42]
“Kafā`ah adalah suatu urusan yang dapat membawa kepada kecacatan jika ia tidak ada. Ketentuannya adalah persamaan seorang laki-laki mempelai suami dengan seorang perempuan mempelai isteri pada aspek kesempurnaan dan kekurangan selain terpelihara dari keaiban-keaiban nikah.
Dari uraian di atas dapat dijelaskan bahwa kafā`ah dari arti bahasanya adalah serupa atau seimbang secara absolut baik itu dalam perkara pernikahan atau lain-lainnya. Seorang se-kufu dengan orang yang lain berarti seseorang itu sama dengan orang yang lain.
Sedangkan menurut istilah ulama mazhab al-Syāfi’ī kafā`ah adalah persamaan antara calon mempelai suami dan isteri khususnya dalam perkara pernikahan pada aspek kesempurnaan atau kekurangan selain bebas dari keaiban-keaiban nikah. Persamaan keduanya pada aspek keaiban-keaiban nikah tidak memicu kepada persamaan (kafā`ah) yang dimaksudkan. Apabila kedua mempelai suami dan isteri mengalami suatu penyakit yang sama, misalnya lepra atau kusta maka terhadap keduanya berhak untuk menuntut fasakh. Hal seperti ini tidak disebutkan kafā`ah pada sama-sama memiliki keaiban, karena setiap manusia akan membenci suatu penyakit yang ada pada orang lain walaupun ia sendiri juga mengalami penyakit tersebut.[43]
Dengan melihat kedua sudut pengertian kafā`ah di atas dapat disimpulkan bahwa kafā`a hadalah persamaan antara calon mempelai laki-laki dan perempuan pada sifat-sifat yang tertentu.
E. Landasan Kafā`ah Menurut Fiqh Al-Mālikiyyah dan Al-Syāfi’iyyah
1. Landasan kafā`ah menurut fiqh al-Mālikiyyah
Menurut ulama al-Mālikiyyah, hal-hal yang menjadi dasar atas tuntutan kafā`ah dalam pernikahan adalah sebagai berikut:
1) Al-Qur`ān
Pertama: Surat al-Rūm ayat 21:
وَمِنْ اَيَاتِهِ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوْا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً اِنَّ فِي ذَلِكَ لَاَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُوْنَ .(الروم:٢١)
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.(Q.S. al-Rūm: 21)[44]
Kedua: Surat al-Hujarāt ayat13:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّاخَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوْبًا وَقَبَائِلَ لِتُعَارِفُوْا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ. (الحجرات: ۱۳)
”Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. al-Hujarāt: 13)[45]
Ketiga: Surat al-Hujarāt ayat 10:
اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ إِخْوَةٌ... (الحجرات: ۱٠)
“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara.(Q.S. al-Hujarāt: 10)[46]
Keempat: SuratĀli ‘Imrān ayat 195:
فَاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ أَنِّي لَاأُضِيْعَ عَمَلَ عَامِلٍ مِنْكُمْ مِنْ ذَكَرٍ اَوْأُنْثَى بَعْضِكُمْ مِنْ بَعْضٍ… (آل عمران: ۱٩٥)
“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain”.(Q.S. Āli ‘Imrān: 195)[47]
2) Hadis
Pertama: Hadis riwayat Abī Hātim:
إذا جاءكم من ترضون دينه وخلقه فأنكحوه، إلا تفعلوا تكن فتنة في الارض وفساد كبير. قالوا يا رسول الله, وان كان فيه؟ قال: إذا جاءكم من ترضون دينه وخلقه فأنكحوه ثلاث مرات.[48]
“Apabila datang kepadamu seseorang yang engkau rela agama dan akhlaknya maka nikahkanlah ia, jika kamu tidak melakukannya niscaya fitnah yang akan terjadi di bumi ini dan bencana yang besar. Para sahabat bertanya: walaupun padanya ada itu, yang diisyarahkan kepada kekurangan (aib)?, baik di segi kebudakan, harta dan keturunan. Rasullah SAW mengulangi hal itu tiga kali.(H.R. Abī Hātim)
Kedua:
الناس سواسية لا فضل لأحد علي أحد كاسنان المشط, لافضل لعربي علي عجمي, انما الفضل بالتقوي.[49]
“Manusia sama derajatnya bagaikan anak sisir, tidak ada kelebihan orang Arab atas orang ‘Ajam. Kelebihan itu hanya dengan taqwa.
Ketiga: Hadisriwayat Abū Hurairah RA:
إذا جاءكم من ترضون دينه وخلقه فزوجه، إلا تفعلوا تكن فتنة في الارض وفساد كبير.[50]
“Apabila datang kepadamu seseorang yang engkau rela agama dan akhlaknya maka nikahkanlah ia, jika kamu tidak melakukannya niscaya fitnah yang akan terjadi di bumi ini dan bencana yang besar.(H.R. Abū Hurairah RA)
Keempat: Hadis riwayat al-Baihaqī dari Abī Umamah:
ان الله أذهب عنكم نخوة الجاهلية وتكبرها بابائها. كلكم لادم و حواء كطف الصاع بالصاع, وان اكرمكم عند الله اتقاكم, فمن اتاكم ترضون دينه وامانته فزجوه.[51]
“Sesungguhnya Allah telah menghilangkan darimu kesombongan dan keangkuhan orang Jahiliyyah dengan bapak-bapak mereka. Tiap-tiap kamu bagi Adam dan Hawa bagaikan dekat takaran dengan takaran, dan sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Maka siapa saja yang datang kepadamu yang engkau rela agama dan kepercayaannya maka kawinkanlah ia.(H.R. al-Baihaqī)
Kelima: Abū Thaibah meminang seorang perempuan dari anak-anak Bayādhah, maka mereka enggan. Lalu Rasulullah SAW bersabda: menikahlah dengan Abū Thaibah, jika tidak maka akan terjadi fitnah dan bencana yang besar.
Keenam: Dalam satu riwayat yang lain, Rasulullah SAW bersbda: nikahilah Abū Hindi dan menikahlah dengannya. Abū Thaibah itu adalah pembekam Rasulullah SAW.
Ketujuh: Bilal meminang seorang wanita dari kaum Anshār, mereka enggan menerimanya. Lalu Rasulullah SAW bersabda: katakanlah pada mereka bahwa Rasulullah SAW menyuruh kalian untuk menikahinya.[52]
3) Perbuatan sahabat
Pertama: Al-Miqdād ibnal-Aswad menikahi seorang wanita keturunan Quraisy yang bernama Dhabā’ah ibnti Zubair. Padahal al-Miqdād tersebut bukan suku Quraisy, ia orang kindi.
Kabar autentik, Abū Huzaifah ibn ‘Atabah mengawinkan keponakan perempuannya, yaitu putri Walid ibn ‘Atabah dengan seorang laki-laki berinisial Sālim, padahal Sālim tersebut budak seorang wanita dari Anshār. Bilal ibn Rabah menikah dengan saudara perempuan ‘Abdurrahman ibn ‘Awf.[53]
4) Kaedah fiqh
والقاعدة أن كل عقد لا يحصل الحكمة التي شرع لأجلها لا يشرع.[54]
“Dan kaedahnya adalah tiap-tiap akad yang tidak dapat menghasilkan hikmah yang disyari’atkan akad karenanya maka akad tersebut tidak dibenarkan.
Dengan memperhatikan keseluruhan landasan di atas yang menjadi pijakan bagi ulama al-Mālikiyyah, maka jelaslah bahwa pertimbangan syara’ terhadap kafā`ah dalam pernikahan mempunyai landsan yang kuat dan kokoh menurut ulama ini.
2. Landasan kafā`ah menurut fiqh al-Syāfi’iyyah
Menurut ulama al-Syāfi’iyyaẖ, hal-hal yang menjadi dasar atas tuntutan kafā`ah dalam pernikahan adalah sebagai berikut:
1) Al-Qur`ān
Pertama: Surat al-Hasyr ayat 20:
لَا يَسْتَوِى اَصْحَابُ النَّارِ وَاَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمُ الْفَائِزُوْنَ. (الحشر:۲٠)
“Tidaklah sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni surga; penghuni-penghuni surga itulah orang-orang yang beruntung.(Q.S. al-Hasyr: 20)[55]
Kedua: Surat al-Nūr ayat: 3:
اَلزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ. (النور:۳)
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan wanita yang berzina, atau perempuan yang musyrik dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik.”(Q.S. al-Nur: 3)[56]
Ketiga: Surat al-Hujarāt ayat 13:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْإِنَّ اللهَ عَلِيْمُ خَبِيْرٌ. (الحجرات: ۱۳)
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.(Q.S. al-Hujarāt: 13)[57]
Keempat: Suratal-Sajadah ayat 18:
أَفَمَن ْكَانَ مُؤْمِنًا كَمَنْ كَانَ فَاسِقًا لَايَسْتَوُوْنَ. (السجدة: ۱۸)
“Maka apakah sama orang yang beriman seperti orang yang fasik (kafir)? Mereka tidak sama.(Q.S. al-Sajadah: 18)[58]
Kelima: Suratal-Nahl ayat 75:
ضَرَبَ اللهُ مَثَلًا عَبْدًا مَمْلُوْكًا لَا يَقْدُرُ عَلَي شَيْئٍ وَمَنْ رَزَقْنَاهُ مِنَّا رِزْقًا حَسَنًا فَهُوَ يُنْفِقُ مِنْهُ سِرًّا وَجَهْرًاهَلْ يَسْتَوُوْنَ الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ اَكثُرُهُمْ لَا يَعْلَمُوْنَ. (النحل: ە٧)
“Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun dan seorang yang kami beri rezeki yang baik dari kami, lalu dia menafkahkan sebagian dari rezeki itu secara sembunyi dan secara terang-terangan, Adakah mereka itu sama? segala puji Hanya bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tiada mengetahui. Maksud dari perumpamaan Ini ialah untuk membantah orang-orang musyrikin yang menyamakan Tuhan yang memberi rezeki dengan berhala-berhala yang tidak berdaya.(Q.S. al-Nahl: 75)[59]
Keenam: Suratal-Naẖl ayat 71:
وَاللهُ فَضَّلَ بَعْضَكُمْ عَلَي بَعْضٍ فِي الرِّزْقِ... (النحل: ٧۱)
“Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagianyang lain dalam hal rezeki.(Q.S. al-Naẖl: 71)[60]
2) Hadis
Pertama: Hadis riwayat al-Turmuzī dan al-Baihaqī:
إذا جاءكم من ترضون دينه وخلقه فأنكحوه، إلا تفعلوا تكن فتنة في الارض وفساد كبير.[61]
Apabila datang kepadamu seseorang yang engkau rela agama dan akhlaknya maka nikahkanlah ia, jika kamu tidak melakukannya niscaya fitnah yang akan terjadi di bumi ini dan kejahatan yang melebar. (H.R. al-Turmuzī dan al-Baihaqī)
Kedua: Hadis riwayat al-Nasā`ī:
اني بريء من كل مؤمن مع مشرك.[62]
“Sesungguhnya Aku terlepas diri dari orang Islam beserta orang syirik.(H.R. al-Nasā`ī)
Ketiga: Hadis riwayat Abū Hurairah:
تنكح المرأة لأربع : لمالها ولحسبها ولجمالها ولدينها.[63]
“Menikahi perempuan karena empat macam; hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya.(H.R. Abū Hurairah)
Keempat:
نحن قريش خير العرب وموالينا خير الموالي.[64]
“Kami orang Quraisy, orang Quraisy adalah sebaik-baik orang Arab, dan tuan-tuan kami sebaik-baik tuan.
Kelima: Hadisriwayat al-Baihaqī:
قدموا قريشا ولا تتقدموها.[65]
“Utamakan orang Quraisy dan jangan kalian mendahului mereka. (H.R. al-Baihaqī)
Keenam:
ان الله عز وجل اختار العرب من سائر الامام, واختار من العرب قريشا, واختار من قريش بني هاشم وبني عبد المطلب.[66]
“Sesungguhnya Allah memilih bangsa Arang dari seluruh ummat, dan memilih suku Quraisy dari bangsa Arab, dan memilih anak-anak Hāsyim dan Muthallib dari suku Quraisy.
Ketujuh:
إن بنى هاشم وبنى عبد المطلب شئ واحد.[67]
”Sesungguhnya keturunan Hāsyim dan keturunan Muthallib adalah sesuatu yang satu.
Kedelapan: Hadis riwayat al-Imām Muslim:
إن الله اصطفى كنانة من ولد اسماعيل واصطفى من كنانه قريشا، واصطفى من قريش بنى هاشم واصطفانى من بنى هاشم.[68]
“Sesungguhnya Allah memilih Kinanah dari keturunan Ismāīl, dan memilih Quraisy dari keturunan Kinanah dan memilih keturunan Hāsyim dari Quraisy dan memilih aku dari katurunan Hasyim.(H. R. al-Imām Muslim)
Kesembilan: Perkataan Salmān al-Farisī:
يا معشر العرب انما نفضلكم لفضل رسول الله ولا ننكح نساءكملا نتقدمكمفي الصلاة.[69]
“Wahai kaum Arab! Kami lebihkan kalian karena kelebihan Rasulullah SAW, tidak kami menikahi perempuan-perempuan kalian dan tidak kami mendahului diri kami dari kalian dalam sembahyang.
Kesepuluh: Hadis shahīh riwayat Ashhāb al-Sunan dan Ahmad ibn Hanbal:
المؤمنون تتكافأ دماؤهم, ويسعي بذمتهم أدناهم.[70]
“Orang-orang mukmin sepadanlah darah mereka, dan tetap dalam tanggungan mereka bagi orang yang rendah martabat.(H.R. Ashhāb al-Sunan dan Ahmad ibn Hanbal)
Kesebelas: Pada masa Rasulullah SAW ada seorang wanita pada yang bernama Barīrah, ia seorang budak yang menikah dengan seorang laki-laki yang sama status dengannya (budak). Tatkala Barīrah tersebut merdeka ia melapor kepada Rasulullah, kemudian beliau memberikan hak pilihan baginya untuk meneruskan hubungan nikah atau memilih fasakh.[71]
Kedua belas: Hadisriwayat Hākim:
العرب بعضهم اكفاء لبعض, حي لحي, وقبيلة لقبيلة, ورجل لرجل الا الحائك والحجام.[72]
“Orang Arab sepadan dengan sesamanya, qabilah dengan qabilah, laki-laki dengan laki-laki kecuali penenun dan pembekam.(H.R. Hākim)
Ketiga belas: Hadis riwayat ibn Majah:
تخيروا لنطفكم وانكحوا الأكفاءوانكحوا اليهم.[73]
“Hendaklah kamu memilih perempuan yang lebih baik sebagai tempat menyimpan sepermamu, dan menikahlahdengan perempuan yang ada kesamaan denganmu, dan menikahlah kepada mereka.(H.R. Ibn Majah)
3) Al-Qiyās al-Aulawī
4) Kaedah fiqh
العادة محكمة مالم تخالف الشرع.[74]
“Suatu kebiasaan dapat berpotensi sebagai hukum selama tidak bertentangan dengan ketentuan syara’.
5) Kaedah ushūl fiqh
Pertama:
تخصيص الشيئ بالذكر لايدل علي نفي ما عداه.[75]
“Penyebutan sesuatu secara khusus tidak mengindikasi kepada meniadakan yang lain.
Kedua: Kaedahal-jam’u waal-taufīq:
Dengan memperhatikan keseluruhan landasan di atas yang menjadi pijakan bagi ulama al-Syāfi’iyyah maka jelaslah bahwa pertimbangan syara’ terhadap kafā`ah dalam pernikahan mempunyai landsan yang kuat dan kokoh menurut ulama ini.
[1]Armia Mahmud, Konsep Kafā`ah dalam Perkawinan Menurut al-Imām al-Nawawī dan al-Zuhailī,Skripsi pada Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Aziziyah, 2011, h. 63, tidak diterbitkan.
[2]Muhammad ‘Abd al-Ghanīal-Bajiqnī,Al-Wajīz al-Muyassir fī Ushūl al-Fiqh al-Mālikī, Jld. I, Cet. III, (t.tp, t.p, 2005), h. 2-3.
[3]Ibrāhīm al-Bajūrī, Hāsyiyatal-Bajūrī ‘alā Ibn Qāsim al-Ghāzī,Jld. I, (Semarang: Toha Putra, t.t), h. 3.
[4]Muhammad Ma’shūm Zein, Arus Pemikiran Empat Mazhab (Studi Analisis Istinbāth Fuqahā`), Cet. I, (Jombang, JATIM: Dār al-Hikmah, 2008), h. 140.
[5]Ma’shum Zein, Arus Pemikiran Empat Mazhab…, h. 140.
[6]http://kolom-biografi.blogspot.com/2009/01/biografi-imam-mal.diakses 26 Agustus 2012.
[7]http://kolom-biografi.blogspot.com/2009/01/biografi-imam-mal.diakses 26 Agustus 2012.
[8]Siradjudin Abbas, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syāfi‘ī, Cet. XIV, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 2006), h.70.
[9]http://kolom-biografi.blogspot.com/2009/01/biografi-imam-mal.diakses 26 Agustus 2012.
[10]Siradjudin, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syāfi’ī…, h.70.
[11]http://kolom-biografi.blogspot.com/2009/01/biografi-imam-mal.diakses 26 Agustus 2012.
[12]Siradjudin, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syāfi’ī..., h.70.
[13]Siradjudin, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syāfi’ī…, h. 70.
[14]http://kolom-biografi.blogspot.com/2009/01/biografi-imam-mal. diakses 26 Agustus 2012
[15]http://ulamasunnah.wordpress.com/2008/02/04/biografi-al-imam. diakses 26 Agustus 2012
[16]http://ulamasunnah.wordpress.com/2008/02/04/biografi-al-imam. diakses 26 Agustus 2012
[17]Ma’shum Zein, Arus Pemikiran Empat Mazhab…, h. 145-149.
[18]Zakariyyāal-Anshārī,Ghāyatal-Wushūl-Syarẖ al-Ushūl, (Singapura: al-Haramain, t.t), h. 5.
[19]Jalāl al-Dīn Muhammad ibn Ahmadal-Maẖallī,Al-Nafaẖāt 'alā Syarẖal-Waraqāt, (Singapura: a-Haramain, t.t),h. 16.
[20]‘Abd al-Hamīd ibn Muhammad, Syarẖ Lathāif al-Isyārah, (Singapura: al-Haramain, t.t), h. 8.
[21]Ibrāhīm al-Bajūrī,Hāsyiyatal-Bajūrī…, h. 3.
[22]Moh. Zadittaqwa dkk, Jendela Mazhab, (Kediri: Lirboyo Press, 2011), h. 1.
[23]Siradjudin, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syāfi’ī..., h. 19.
[24] Siradjudin, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syāfi’ī..., h. 19.
[25]Siradjudin, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syāfi’ī..., h. 153.
[26]Siradjudin, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syāfi’ī ..., h. 153.
[27]Siradjudin, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syāfi’ī..., h. 70.
[28]Siradjudin, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syāfi’ī..., h. 42.
[29]Siradjudin, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syāfi’ī..., h. 42.
[30]Ma’shum Zein, Arus Pemikiran Empat Mazhab…, h. 145-149.
[31]Siradjudin, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syāfi’ī..., h. 70.
[32]Siradjudin, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syāfi’ī..., h. 237.
[33]Tajul Alam Safiyatuddin Syah, Risālat Masāil al-Muhtadīn līIkhwān al-Muhtadīn, (Medan: sumber Ilmu Jaya, t.t), h. 9.
[34]Zadittaqwa dkk, Jendela Mazhab…, h. 4.
[35]Nurchalish Madjid, Risālatal-Imām al-Syāfi’ī,(Jakarta: Pustaka firdaus, 2004), h. 9.
[36]Siradjudin, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syāfi’ī..., h. 237.
[37]Al-Qurāfī, Ahmad ibn Idrīs,Al-Dzakhīrah, Jld. IV, (Beirut: Dār al-Gharabī, 1994), h. 211.
[38]Muhammad ibn Yūsuf, Al-Tāj wa al-Iklīl,Jld. III, (Beirut: Dār al-Fikr, 1398), h. 460.
[39]Al-Qurāfī,Al-Dzakhīrah…, h. 47-48.
[40]Muhammad Khathīb al-Syarbīnī, Mughnīal-Muẖtāj ‘alā Ma’rifat Alfāzh al-Minhāj, Jld. II, Cet. I, (Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah,2006), h. 363.
[41]Muhammad Syathā, HāsyiyatI’ānatal-Thālibīn, Jld. III, (Singapura: al-Haramain, t.t), h. 330.
[42]‘Abdurrahman ibn Muhammad Husain, Bughyat al-Mustarsyidīn, Jld. IV, (al-Azhar: Dār al-Bayān al-‘Arabī, t.t), h. 48.
[43]Abdurrahman, Bughyatal-Mustarsyidīn…, h. 330.
[44]Depertemen Agama RI, Al-Qur`ān dan Terjemahnya, (Bandung: Diponegoro, 2003), h. 234.
[45]Depertemen Agama RI, Al-Qur`ān dan Terjemahnya,...,h. 847.
[46]Depertemen Agama RI, Al-Qur`ān dan Terjemahnya…, h. 846.
[47]Depertemen Agama RI, Al-Qur’ān dan Terjemahnya…, h. 110.
[48]Al-Baghwī, Husain ibn Mas’ūd, Syarh al-Sunan Li-al-Imām al-Baghwī, Jld. X, Cet. II (Beirut: al-Maktab al-Islamī, 1983), h. 10.
[49]Ibrāhīm ibn ‘Alī, Takmilat al-Majmū’ Syarẖ al-Muhadzdzab, Jld. XIX, Cet. I, (Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, 2007),h. 193.
[50]Al-Qurthubī, Yūsuf ibn ‘Abdillah, Al-Tamhīd li-Mā fī al-Muwaththa`Min al-Ma’ānī wa al-Asānīd, Jld. XIX, (Madinah: Muassasah al-Qurthubah, t.t), h. 165.
[51]Ibrāhīm, Takmilat al-Majmū’…, h. 193.
[52]Ibrāhīm, Takmilat al-Majmū’…, h. 194.
[53]Badr al-Dīn al-‘Ainī, ‘Umdat al-Qārī Syarẖ Shaẖīẖ al-Bukharī, Jld. XXIX, (Maktabah Syamilah Ishdar 3.8 v. 10600 ,2008), h. 223.
[54]Al-Qurāfī, Al-Dzakhīrah..., h. 212.
[55]Depertemen Agama RI, Al-Qur’ān dan Terjemahnya…, h. 437.
[56]Depertemen Agama RI, Al-Qur’ān dan Terjemahnya..., h. 543.
[57]Depertemen Agama RI, Al-Qur’ān dan Terjemahnya,...,h. 845.
[58]Depertemen Agama RI, Al-Qur’ān dan Terjemahnya…, h. 662.
[59]Depertemen Agama RI, Al-Qur’ān dan Terjemahnya,...,h. 220.
[60]Depertemen Agama RI, Al-Qur’ān dan Terjemahnya...,h. 219.
[61]‘Abdurrahman ibn Abī Bakr, Al-Dar al-Mantsūr fī al-Ta`wīl Bī al-Ma`tsūr, Jld II, (Maktabah Syamilah Ishdar 3.8 v. 10600, 2009), h. 19.
[62]Al-Māwaridī, Al-Hāwī al-Kabīr…, h. 141.
[63]Ibn Hajar al-‘Asqalānī, Ahmad ibn ‘AlīibnHajar, Fathal- Barī, Jld. V (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1379), h. 135.
[64]Ibrāhīm, Takmilatal-Majmū’…, h. 188.
[65]Ibn Hajar al-‘Asqalānī, Fathal- Barī…, h. 118.
[66]Ibrāhīm, Takmilat al-Majmū’…, h. 188.
[67]Muhammad Syams al-Ma’būd, ‘Aunal-Ma’būd fī Syarẖ Sunan Abī Dāud, Jld. V, Cet. II , (Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, 1415 H), h. 47.
[68]Ibn Hajar al-‘Asqalānī,Fath al-Bārī..., h. 293.
[69]Ibrāhīm, Takmilat al-Majmū’…, h. 188.
[70]Al-Māwaridī, Al-Hāwī al-Kabīr…, h. 145.
[71]Ibrāhīm, Takmilat al-Majmū’…, h. 190.
[72]Ibrāhīm, Takmilat al-Majmū’…, h. 190.
[73]Muhammad ibn ‘Abd al-Hād, Hāsyiyat al-Sanadī, Jld. IV,(Maktabah Syamilah Ishdar 3.8 v. 10600, 2009), h. 215.
[74]Al-Suyūthī, ‘Abdurrahman ibn Abī Bakr, Al-Asybāh wa al-Nadhāīr, Cet. I, (Semarang: al-Haramain, t.t), h. 66.
[75]Ibrāhīm, Takmilat al-Majmū’…, h. 194.